Logo Bloomberg Technoz

Tutuka memproyeksikan potensi cadangan minyak di Lapangan Zulu, yang notabene merupakan salah satu anjungan lepas pantai milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), mencapai 800 juta—1 miliar barel.

Namun, dikarenakan lokasinya berada di tengah laut, Tutuka mengatakan Pertamina membutuhkan teknologi dan peralatan yang mumpuni untuk dapat mengencerkan minyak pekat atau heavy tersebut menjadi minyak light yang bisa digunakan untuk produksi bahan bakar.

Berharap MNK

Lebih lanjut, Tutuka mengatakan saat ini pemerintah berharap pada proyek minyak nonkonvensional (MNK) dan enhanced oil recovery (EOR) untuk mengatrol produksi siap jual.

“Kalau berhasil, saya kira keduanya akan menyumbang kontribusi besar untuk produksi minyak. Ini dari perspektif Dirjen Migas ya. Tentunya MNK tergantung apa yang dilakukan di Blok Rokan ya, yang sekarang baru dibor di Sumur Gulamo dan Kelok. Kalau hasilnya bagus, dalam 2 bulan akan ada info detail soal itu.”

Sekadar catatan, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bersama dengan mitranya memang telah berencana melakukan pengeboran terhadap dua sumur yang berada di Blok Rokan, yakni sumur Gulamo dan Sumur Kelok. Potensi MNK inplace di kedua sumur tersebut mencapai 80 juta barel. 

Pengeboran Sumur MNK Kedua Blok Rokan. (dok: Kementerian ESDM)

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya mengatakan target lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun.

Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan peninjauan ulang (review) terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.

Dwi mengeklaim SKK Migas telah berkomitmen untuk mencapai target tersebut, bahkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sudah melakukan penandatanganan komitmen untuk mewujudkan target tersebut. Namun, upaya tersebut terhambat dengan adanya pandemi Covid-19.

“Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,”  ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (13/3/2024). 

Setidaknya terdapat dua alasan yang melandasi SKK Migas untuk memundurkan target tersebut. Pertama, LTP sudah terbentuk sejak 5 tahun lalu sejak 2019, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali. Kedua, adanya pandemi selama 2—3 tahun yang menghambat operasional lifting minyak.

“Selain itu pada 2023 proyek Forel [Bronang] mundur yang kita harapkan waktu itu berkontribusi 10.000—15.000 [bph] yang terpaksa mundur 2024,” ujarnya.

Namun, Dwi mengatakan SKK Migas belum mengumumkan secara resmi mengenai kemunduran tersebut, tetapi dipastikan bahwa target 1 juta barel bakal mundur selama 2—3 tahun.

Adapun, kemunduran target 1 juta barel pada 2030 juga sejalan dengan penurunan target lifting minyak pada 2024.

Target lifting minyak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah 635 million barrel oil per day (MBOPD) target tersebut mengalami penurunan dari realisasi lifting minyak sebesar 605,5 MBOPD pada 2022.

Sementara itu, target salur gas adalah 5,785 million standard cubic feet per day (MMSCFD) pada 2024 atau mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi salur gas 5.376 MMSCFD pada 2023. 

(wdh)

No more pages