Logo Bloomberg Technoz

Di luar Indonesia, stok nikel yang tertumpuk di China tahun lalu mungkin juga lebih kecil dari perkiraan sebelumnya mengingat peningkatan konsumsi yang lebih besar dari perkiraan, kata para analis, mengutip penelitian lapangan.

Walhasil, pasar tampaknya lebih mendekati keseimbangan dibandingkan dengan penilaian sebelumnya, kata Macquarie.

Sekadar catatan, bijih nikel di Indonesia diperdagangkan dengan harga lebih dari US$7 per ton dibandingkan dengan harga jual minimum yang ditetapkan pemerintah, kata Macquarie. Hal ini akan menambah sekitar US$700 per ton biaya produksi di negara ini.

Kondisi tersebut juga memberikan keringanan yang signifikan bagi para penambang dan pabrik peleburan di Indonesia, di mana banyak dari mereka yang mempertimbangkan penutupan pabrik karena produksi besar-besaran berbiaya rendah di Indonesia membuat mereka tidak kompetitif.

Sebuah dump truck melintasi jalan akses di tambang nikel diMorowali, Sulawesi Tengah. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Masih Tertekan

Dihubungi secara terpisah, Direktur Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widayanto menjelaskan neraca pasar nikel masih akan mengalami surplus hingga 250 kiloton. Walhasil, ke depannya, harga pasti akan terus tertekan.

Bagaimanapun, Djoko tetap menggarisbawahi pemerintah perlu menjaga keseimbangan neraca cadangan dan RKAB, khususnya dalam pertambangan nikel.

Saat ini, lanjut Djoko, RKAB 3 tahun masih banyak yang belum disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal ini, di sisi lain, juga memberi risiko terhentinya operasi penambangan di dalam negeri.

“Permasalahannya, jika perusahaan tetap beroperasi tanpa kelengkapan RKAB, [operasional mereka] akan dihentikan oleh aparat penegak hukum yang akan berdampak pada pendapatan negara dan kesempatan kerja,” katanya kepada Bloomberg Technoz.

“Jadi permasalahan [anjloknya harga nikel saat ini] bukan karena jorjoran [produksi dari Indonesia], tetapi lebih pada pengendalian suplai dan permintaan yang tidak diperhatikan. Pada dasarnya, pemerintah harus mengawasi neraca produksi nikel lewat RKAB.”

Nikel tengah memperpanjang kemerosotan selama setahun terakhir karena meningkatnya pasokan dari Indonesia menyebabkan kelebihan pasokan.

Harga nikel di London Metal Exchange (LME) hampir turun setengahnya dalam setahun terakhir, sehingga mendorong para penambang di luar Indonesia untuk menutup operasinya.

Harga nikel sudah anjlok lebih dari 45% sepanjang tahun lalu, dari level tertingginya di US$33.924/ton pada Maret 2022. Per hari ini, harga nikel di LME diperdagangkan di US$17.601/ton, naik tipis 0,81% dari hari sebelumnya.

Harga nikel rontok./dok. Bloomberg


Di tempat terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto mengatakan pemerintah punya mekanisme sendiri untuk menjaga titik kesetimbangan atau ekuilibrium produksi nikel, tanpa harus memberlakukan kebijakan pemangkasan produksi.

“Saya kira pemerintah itu kan ada satu kontrolnya. Itu dari RKAB. Jadi, dari suplai nickel ore-nya itu kan tidak bisa naik terus-terusan [karena produksinya harus sesuai RKAB],” ujar Seto, Kamis (29/2/2024).

Selain RKAB pertambangan, lanjutnya, mekanisme tidak langsung dalam mengendalikan produksi nikel di Indonesia adalah analisis dampak lingkungan (amdal).

“Kan ada amdal. Kalau mereka [penambang] mau naikin produksi, ya amdalnya harus direvisi. Prosesnya juga bukan proses yang mudah. Pemerintah juga pasti akan mengecek, benar tidak ini aspek lingkungannya dan segala macam, untuk bisa comply.”

Dengan demikian, secara tersirat Seto mengelak tudingan bahwa Indonesia melakukan ekstensifikasi produksi nikel yang memicu runtuhnya harga komoditas tersebut di tingkat global. Banjir nikel RI yang menyebabkan surplus di pasar logam dunia padahal diproyeksi terus akan terjadi setidaknya sampai 2030.

Seto berdalih persyaratan ketat seperti RKAB pertambangan dan amdal tetap membuat produksi nikel Tanah Air tidak bisa naik begitu saja secara drastis.

Lagipula, ujar Seto, perusahaan tambang nikel di Indonesia pun tidak akan serta-merta memacu produksi agar tidak mengalami kerugian, terutama di tengah harga yang tengah melembam.

“Saya kira itu proses ekuilibrium. Kalau di harga nikel seperti sekarang, saya kira bukan banyak sih [produksinya]. [Terbukti,] hampir seluruh perusahaan smelter dan tambang [di dalam negeri] profit-nya masih bagus.”

-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages