Logo Bloomberg Technoz

Walhasil, Indonesia juga tetap akan mengizinkan pengembangan EV, baik yang menggunakan baterai LFP maupun NMC, untuk dijual di Indonesia. Apalagi, negara ini tidak memiliki cuaca ekstrem seperti negara-negara di kawasan Eropa lainnya yang membuat LFP bisa berfungsi dengan baik.

“Kalau baterai LFP [digunakan] pada musim dingin, kadang-kadang discharge, jadi tiba-tiba sudah habis baterainya. Itu memang sifat fisika LFP. Buat Indonesia, kita negara tropis, sehingga lebih stabil, jadi kalau mau pakai LFP ya boleh saja,” ujarnya.

Keunggulan

Rachmat menggarisbawahi keunggulan yang dimiliki NMC adalah densitas energinya lebih tinggi dibandingkan dengan LFP, sehingga diklaim memiliki kualitas yang lebih baik. Selain itu, NMC memang biasanya digunakan oleh merek EV mewah (high end), sedangkan LFP digunakan untuk EV dengan harga yang terjangkau.

“Kita lihat EV high end rata-rata [pakai baterai] NMC, [sedangkan segmen] low end mendorong keterjangkauan, silakan pakai LFP enggak apa-apa. Hal yang penting adalah pabrik baik NMC dan LFP ada di Indonesia,” ujarnya.

Saat ini, setidaknya terdapat 2 produsen mobil listrik di Indonesia yang menggunakan LFP sebagai bahan baku baterai untuk produknya, yakni Wuling dan raksasa otomotif China, Build Your Dreams (BYD).

Permintaan baterai EV berbasis LFP terus naik./dok. Bloomberg

Pemerintah pun sudah memastikan akan membuka peluang pengembangan baterai berbasis LFP dengan bantuan China, simultan dengan pembangunan ekosistem baterai berbasis nikel.

Deputi Bidang  Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan peluang itu tengah dikaji, seiring dengan mulai masifnya integrasi RI dalam pengembangan rantai pasok EV.

"LFP ini kita lihat ya, mungkin nanti dalam 2 tahun ke depan, karena ekosistemnya mulai tumbuh di Indonesia," ujar Seto saat ditemui, Kamis (29/2/2024).

Seto pun menilai proses pembuatan baterai LFP lebih murah dan mudah dibandingkan dengan baterai EV berbasis nikel. Dengan demikian, peluang pengembangan bahan baku baterai yang sempat memicu perdebatan beberapa waktu lalu itu makin terbuka lebar.

Biaya produksi LFP lebih murah dari bateri lithium-ion./dok. Bloomberg

Adapun, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pertama kali mengumumkan pada Januari bahwa Indonesia membuka peluang kerja sama pengembangan baterai berbasis LFP dengan China.

Hal itu ia ungkapkan menyusul sindiran eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, yang menyatakan bahwa anjloknya harga nikel disebabkan oleh dominasi LFP untuk industri EV global.

"Kita bersyukur, LFP juga [akan] kita kembangkan dengan Tiongkok. Baterai litium juga kita kembangkan," ujar Luhut dalam pernyataan melalui video di laman Instagram resminya.

Belakangan,  harga nikel, yang digunakan untuk membuat baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik memang telah merosot hingga 45% sepanjang tahun lalu. 

Hal itu diklaim didorong oleh membanjirnya pasokan murah dari Indonesia, yang dinilai akan mengancam dan mengganggu industri produk olahan nikel, termasuk ekosistem EV.

(dov/wdh)

No more pages