Logo Bloomberg Technoz

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji pun tidak menampik kementerian makin mengkhawatirkan kuota Pertalite tahun ini bakal jebol.

Untuk itu, dirinya pun ingin mempercepat revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.

"Terus terang saja, kami menyampaikan concern kami ini ke kementerian yang terkait, bahwa [revisi perpres] ini yang harus perlu sangat diperhatikan," ujarnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Rabu (1/11/2023) malam.

Pemotor memadati SPBU Pertamina di Pangkal Pinang untuk mengisi BBM (Dimas Ardian/Bloomberg)

Anggota Komite BPH Migas Iwan Prasetya Adhi sebelumnya juga menyebut masih dibutuhkan upaya ekstra untuk membuat distribusi BBM bersubsidi lebih tepat sasaran dan tepat volume dari pagu yang ditetapkan pemerintah.

“Kami mengharapkan kuota BBM subsidi pada 2023 dapat mencukupi hingga akhir tahun. Berdasarkan realisasi hingga saat ini, kuota BBM bersubsidi diperkirakan hanya akan cukup hingga awal Desember 2023,” ungkapnya dalam sebuah pernyataan resmi.

Celakanya, kuota yang sudah menipis itu berbanding lurus dengan penyelewengan Pertalite makin menjadi-jadi. Per Oktober 2023, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mengungkap setidaknya 32 kasus pidana terkait dengan isu tersebut, terbanyak di wilayah Jawa Timur—Bali dan Nusa Tenggara (Jatimbalinus).

Direktur Reskrimsus Polda Jatim Kombes Farman mengatakan modus para tersangka untuk menyalahgunakan BBM bersubsidi itu yakni dengan memodifikasi tangki truk dan kendaraan pickup untuk mengisi BBM bersubsidi, yang kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.

“BBM itu ditandon di salah tempat, sebelum dijual lagi,” ungkapnya. 

Perbandingan konsumsi bensin dan solar di Indonesia selama Januari 2019 hingga Juni 2023./Sumber: BMI-Fitch Solutions

‘Maju-Mundur’ 

Tuntutan untuk membatasi Pertalite demi menjaga kecukupan kuota dari tahun ke tahun memang sudah banyak disuarakan oleh berbagai kalangan. Namun, pemerintah seolah ‘maju-mundur’ dalam mengambil keputusan.

Menurut dalih Menteri ESDM Arifin Tasrif, mandeknya revisi Perpres No. 191/2014 yang bakal membatasi penggunaan BBM bersubsidi agar lebih tepat sasaran dipicu oleh alotnya pembahasan tiga kementerian.

"Kita sudah siap, cuma belum ketemu waktunya nih, belum ketemu bertiga; Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan kami [ESDM]," ujarnya, akhir bulan lalu.

Di lain pihak, Pertamina sendiri mengaku sebenarnya sudah siap jika harus membatasi Pertalite. Hanya saja, perseroan tidak berani mengambil keputusan, sebelum regulasi resminya terbit.

"Kalau dibilang siap sih, siap infrastrukturnya. Sudah ada datanya, tinggal menunggu peraturannya. Kalau sudah disahkan, ya tinggal diimplementasikan. Kalau dari infrastruktur sudah siap," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Joko Santoso saat dijumpai medio pekan ini.

Celakanya lagi, ada kecenderungan subsidi akan bertambah lagi karena kebutuhan BBM yang meningkat, serta depresiasi rupiah.

Ekonom energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa

Sejauh ini, Pertamina sebatas bisa memberlakukan uji coba pengendalian pembelian Pertalite bagi kendaraan roda empat di 41 kota/kabupaten di Aceh, Bangka Belitung, dan Bengkulu. Uji coba juga dilakukan di Timika, Papua.

Selain untuk menjaga kuota agar tidak habis sebelum waktunya, pembatasan Pertalite sejatinya sudah makin urgen lantaran pemerintah dipandang sudah tidak punya ruang fiskal yang cukup luwes untuk menaikkan harga Pertalite jika anomali harga minyak dunia terjadi lagi.

Ekonom energi dari Universitas Indonesia (UI) Iwa Garniwa mengatakan anggaran subsidi BBM saat ini sudah dinaikkan 3,4 kali lipat dari Rp152 triliun menjadi Rp502,4 triliun sejalan dengan tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

“Peningkatan yang besar ini membebani anggaran pemerintah. Celakanya lagi, ada kecenderungan subsidi akan bertambah lagi karena kebutuhan BBM yang meningkat, serta depresiasi rupiah. [Subsidi BBM] bisa bertambah sebesar Rp198 triliun,” ujarnya.

Spread bensin dan solar di industri kilang minyak./dok. Bloomberg


Dia menilai pemerintah perlu mengambil langkah-langkah preventif agar besarnya subsidi BBM tidak diboroskan oleh perilaku konsumsi bahan bakar yang tidak terkendali. Salah satunya, lagi-lagi, dengan mempercepat revisi Perpres No. 191/2014.

“Situasi sekarang ini, BBM subsidi makin banyak digunakan oleh konsumen yang mampu sehingga subsidi tidak tepat sasaran. Pemerintah harus menyiapkan metode baru agar subsidi tepat sasaran,” tegasnya.

Jika tidak ada pengendalian terhadap konsumsi BBM bersubsidi, menurutnya, hampir dapat dipastikan anggaran subsidi yang tidak sasaran akan makin bermasalah dan tidak mampu lagi memikul belanja negara, yang berujung pada risiko terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pilihan Sulit

Pertalite sendiri sejatinya digelontor sebagai BBM bersubsidi pengganti Premium sejak Februari 2022 guna menjaga daya beli masyarakat kelas menengah-bawah, mengingat komponen bahan bakar dalam transportasi menjadi salah satu kontributor terbesar inflasi.

Namun, pada satu titik keputusan menyubsidi BBM menjadi bumerang. Anggaran yang membengkak, kuota yang terus jebol, dan jalan buntu mengatasi penyelewengan selalu dibenturkan oleh kepentingan politis untuk menjaga harga bensin RON 90 itu tetap murah.

Pemerintah seolah dibuat tidak berkutik ketika dihadapkan pada desakan untuk membatasi volume Pertalite atau menaikkan harganya jika minyak dunia yang membandel di atas US$90/barel. Menurut Kementerian ESDM, padahal, harga asli Pertalite seharusnya Rp12.000/liter.

Untuk tahun ini, ruang fiskal untuk menjaga harga tetap Rp10.000/liter mungkin masih mencukupi. Namun, tidak demikian halnya untuk tahun depan. Pilihan ada dua; menaikkan harga Pertalite atau mengurangi kuota untuk 2024.

Untuk sekarang, kalangan ekonom menilai harga BBM bersubsidi kemungkinan besar tidak akan naik setidaknya sampai Februari 2024. Namun, hal tersebut bakal dibarengi dengan sejumlah risiko yang mengancam kredibilitas anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). 

Ilustrasi pengendara mengisi BBM di SPBU Pertamina. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut rupiah yang terus melemah semestinya menjadi alasan kuat mengapa harga Pertalite terpaksa harus dinaikkan, selain akibat reli harga minyak dunia.

Akan tetapi, Bhima berpendapat pemerintah tentu memiliki pertimbangan politis untuk menjaga harga BBM bersubsidi tetap stabil hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 usai.

“Setidaknya sampai Februari 2024 ya, harga  BBM akan tetap stabil, listrik dan LPG 3 kg juga sama. Tinggal dampak ke APBN-nya, apa pemerintah siap? Kuota dan alokasi anggaran subsidi energi pastinya tidak cukup,” ujarnya.

Menurut Bhima, setiap US$1 kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) terhadap asumsi APBN 2024, maka belanja negara akan naik Rp10,1 triliun. Adapun, setiap Rp100/US$ rupiah melemah, belanja negara akan bertambah Rp10,2 triliun.

“Ya, kenaikan belanja Rp10,1 triliun ditambah Rp10,2 triliun kalau asumsi ICP dan rupiah meleset, di dalamnya terdapat pelebaran belanja subsidi energi,” terangnya.

Dia melanjutkan variabel kurs rupiah akan sangat berdampak pada pelebaran realisasi subsidi energi. Di sisi lain, tidak semua kalangan masyarakat siap menanggung beban kenaikan harga BBM nonsubsidi.

“Imbasnya pasti terjadi pergeseran [konsumsi] ke BBM subsidi. Konsekuensi lebarnya [selisih] harga BBM subsidi dan nonsubsidi juga dapat memicu kebocoran. Selama ini kan sudah terjadi kebocoran, misalnya Solar yang justru dinikmati perusahaan tambang dan perkebunan besar. Nah, kondisi harga minyak dunia hari ini bisa memicu kebocoran yang lebih besar,” tegasnya.

Dinamika harga minyak dunia sepanjang 2023. (Dok: Bloomberg)

Sekadar catatan, pada Jumat (3/11/2023) pagi, US$1 tercatat setara dengan Rp15.785. Rupiah menguat 0,41% dari hari sebelumnya. Namun, rupiah belum lepas dari tren negatif. Sepanjang Oktober, rupiah melemah 2,78%. Mata uang Garuda melemah 6 bulan berturut-turut.

Sementara itu, harga minyak Brent — yang merupakan patokan global — berada di sekitar US$86,85/barel pada perdagangan Jumat atau naik 2,6% secara harian, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) US$82,46/barel naik 2,5%.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan naik turunnya kuota dan harga Pertalite sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah terkait dengan subsidi.

“Dalam hal ini, apabila harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan, maka dampaknya akan dirasakan di APBN, dengan potensi defisit anggaran yang dapat makin melebar,” ujarnya.

Josua menyebut deviasi pada APBN 2024 bisa cukup besar apabila harga minyak  dunia persisten di atas level US$90/barel dan nilai tukar rupiah membandel di atas level Rp15.500/US$.

Mengacu kepada Nota Keuangan RAPBN 2024, lanjutnya, setiap kenaikan Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$1/barel akan meningkatkan defisit anggaran pemerintah sebesar Rp6,5 triliun.

“Hal itu disebabkan oleh lebih besarnya kenaikan belanja pemerintah yakni sebesar Rp10,1 triliun, dibandingkan  dengan kenaikan pendapatan pemerintah yang hanya sebesar Rp3,6 triliun,” lanjutnya.

Menurut Josua, apabila harga minyak pada tahun depan secara rata-rata berada di rentang US$90—US$100 per barel, dengan asumsi variabel lain sesuai dengan perkiraan, maka defisit anggaran dapat diperkirakan meningkat sebesar Rp52 triliun—Rp 117 triliun.

“Deviasi yang cukup besar ini akan berpengaruh pada kredibilitas dari APBN Indonesia,” tegasnya.

Sekadar catatan, anggaran kompensasi energi 2024 dipagu Rp126 triliun, turun 57% dari perkiraan tahun ini Rp293,5 triliun. Turunnya anggaran kompensasi tahun depan juga disinyalir sebagai pertanda harga Pertalite akan dinaikkan pada 2024.

“Kalaupun terjadi penambahan subsidi, [sifatnya] semu, karena [Pertalite] ini tidak masuk dalam perencanaan [subsidi], tetapi sebagai kompensasi. Apa yang terjadi kalau kenaikan subsidi dan kompensasi ini dibayarkan di APBN 2024? [Harga Pertalite akan] dinaikkan setelah Februari 2024. Jadi kalau misal harga minyak naik lagi, otomatis akan ada adjustment [dalam APBN], di mana yang diubah adalah [anggaran] kompensasinya, [bukan anggaran subsidi],” Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad.

Pada akhirnya, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dalam sejarah utak-atik kebijakan BBM bersubsidi di Indonesia, nasib Pertalite akan tergantung pada kepentingan pemerintah. Menjaga daya beli kelas menengah-bawah atau menjaga resiliensi keuangan negara?

Masing-masing memiliki manfaat dan mudaratnya sendiri. Namun, pilihan sulit harus ditempuh. Dengan catatan, tidak terus-terusan membiarkan pembengkakan kuota dan anggaran subsidi BBM justru dinikmati oleh kalangan masyarakat yang kendaraannya tidak patut menenggak Pertalite.  

-- Dengan asistensi Sultan Ibnu Affan

(wdh)

No more pages