Bloomberg Technoz, Jakarta - Kualitas udara Jabodetabek yang buruk selama beberapa bulan terakhir membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan dan mengadakan rapat terbatas khusus membahas soal polusi udara. Kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang kemudian dimunculkan untuk mengatasi kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya.
Sementara dua tahun silam, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) digugat lewat gugatan citizen law suit (CLS) atas pencemaran udara. Pengadilan Negeri Jakarta pada 16 September 2021 memenangkan warga. Kemudian Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat pada tanggal 17 Oktober 2022 menguatkan putusan tersebut. Namun pemerintah mengajukan kasasi atas putusan pengadilan tersebut.
Diketahui bahwa hak atas udara bersih merupakan bagian dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak untuk hidup sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 65 Ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 9 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Atas pencemaran udara karena itu, negara merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak atas udara bersih.
Sementara itu kualitas udara wilayah Jakarta semakin mengkhawatirkan. Dua bulan terakhir, Jakarta sempat menempati urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia versi situs IQAir. Diketahui bahwa indeks kualitas udara di Jakarta berada pada level 124 AQI US dengan polutan utama udara adalah PM 2.5 dengan konsentrasi 45 ug/m3 pada Selasa (8/8/2023) lalu. Nilai ini 9 kali lebih tinggi dibandingkan standar kualitas ideal WHO yang memiliki bobot konsentrasi PM 2,5 antara 0 sampai 5 mikrogram per meter kubik.
Juru Kampanye Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Abdul Ghofar menilai masalah polusi adalah hal yang berulang dari tahun ke tahun. Sayangnya hanya disikapi pemerintah bak pemadam kebakaran.
"Tahun lalu muncul ramai, direspons dengan tidak serius bisa hilang kalau hujan ditiup dan lain sebagainya. Kemudian bulan kemarin naik lagi kasusnya dan Juli sampai awal Agustus jadi perbincangan yg mulai mengarah kepada solusi apa yang harus diambil oleh pemerintah," kata Abdul Ghofur pada Senin malam (14/8/2023) pada saat dihubungi.
Pihaknya kemudian mempertanyakan solusi yang digaungkan pemerintahan Presiden Jokowi saat ini yang muncul dengan cepat tanpa menunjukkan kajian yang mendalam.
"Solusi ini perlu dikritisi. Pertama dia harusnya berangkat dari kajian komperhensif mulai melihat inventaris yg tercemar kemudian bikin rencana. Kalau tidak ada kajian komperhensif, Kalau tidak ada grand desain pengendalian pencemaran udara maka solusi-solusi ini kan parsial," lanjut dia.
WALHI menilai persoalan ini jangan selesai hanya dengan program-program yang belum tentu efektif seperti work from home (WFH) hingga 4 in 1 yang kembali akan diterapkan.
(ezr)