
Rionanda Dhamma Putra adalah Treasury Economist Bank Danamon Indonesia sejak Desember 2024. Pribadinya adalah seorang pembelajar yang ingin tahu banyak hal. Lulus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada tahun 2023, minatnya berkutat pada ekonomi politik, ekonomi regional, dan keuangan. |
Amerika Serikat (AS) melantik pemimpin baru pada 20 Januari 2025. Presiden yang dilantik, Donald Trump memang berbeda dibandingkan Joe Biden yang mendahuluinya. Politisi ulung yang berkarir lima dekade di Senat AS sebagai wakil Delaware dari Partai Demokrat, digantikan oleh seorang pebisnis New York dengan satu-satunya karir di sektor publik sebagai Presiden AS ke-45 dari Partai Republik. Datangnya pemimpin “baru” dengan rekam jejak nirortodoks dan kontroversial ini membawa gerbong baru yang sejajar dalam idiosinkrasi-nya.
Isi gerbong itu bisa dilihat dari nomine pengisi pelbagai posisi di Kabinet Trump 2.0. Dua miliarder sekaligus tokoh publik, Elon Musk dan Vivek Ramaswamy ditunjuk sebagai punggawa Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Calon Presiden dari jalur independen yang kemudian mendukung Trump, Robert F. Kennedy Jr. diberikan pos Menteri Kesehatan dan Jasa Kemanusiaan (HHS). Lantas, seperti pada periode pertamanya sebagai Presiden, Trump juga memilih pelaku industri migas, Chris Wright dari Liberty Energy sebagai Menteri Energi.
Di antara orang-orang tersebut, tentu ada tensi kreatif dalam berbagai isu, terutama soal menangani Tiongkok dan intervensi militer AS di luar wilayahnya. Ada kelompok elang (hawks) dan merpati (doves) yang bisa berganti keseimbangannya seiring pemerintahan Trump berjalan. Akan tetapi, terdapat dua tema di mana hampir seluruh pihak di dalam Kabinet Trump bermufakat: Kemandirian energi adalah kunci dan gunakan tarif untuk taktik negosiasi.
Supremasi Nasionalisme Energi
Tahun 2024 menjadi momen di mana produksi minyak mentah AS mencapai rekor tertinggi dengan proyeksi Energy Information Administration sebesar 13,2 juta barel/hari, naik 0,2 juta barel dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, capaian tersebut masih kurang bagi Trump. Wacana untuk deklarasi kedaruratan energi pada hari-hari pertama Trump sudah timbul-tenggelam sejak November 2024. Kedaruratan tersebut digunakan untuk mengambil langkah-langkah drastis.
Sejauh ini, langkah-langkah drastis yang direncanakan untuk diambil Trump akan mengarah kepada menggusur halangan regulasi untuk produksi bahan bakar fosil. Presiden Trump sendiri menyatakan dalam janji kampanyenya bahwa kedaruratan akan dipakai untuk memuluskan jalan berbagai proyek pengeboran, pipa minyak, kilang minyak, pembangkit listrik, dan reaktor nuklir. Upaya untuk membatalkan Perpres Biden mengenai energi terbarukan juga masuk ke dalamnya.
Janji yang demikian hawkish di sisi produsen minyak A.S. memiliki konsekuensi besar ke pasar minyak global. Di tahun 2025, U.S. Energy Information Administration (EIA) memproyeksikan produksi minyak dunia akan naik 1,8 juta barel per hari, sementara konsumsinya hanya naik 1,3 juta barel per hari. Realisasi janji tersebut akan membuat pasar minyak dunia kebanjiran ekses suplai, menekan harga minyak bumi. Hari-hari energi fosil murah kembali di depan mata, menciptakan disinsentif untuk pembangunan ekosistem energi terbarukan.
Drill baby drill yang selama ini menjadi slogan kampanye akan memandu jalan kebijakan menuju keamanan energi domestik. Satu-satunya sumber energi yang selama ini sudah menerima insentif dari pemerintahan Biden dan kemungkinan akan dilanjutkan oleh Trump adalah tenaga nuklir. Tidak heran jika mengingat nuklit adalah sumber energi terbesar untuk para perusahaan teknologi besar yang mendukung kampanye Trump selama Pemilu 2024.
Kembalinya Metode New York
Jika di dalam negeri ada nasionalisme energi, maka mengubah cara negosiasi A.S. di tingkat global menjadi titik di mana Trump disetujui semua kelompok politik di kabinetnya. Seperti pada tahun 2016, multilateralisme dibuang lewat jendela dan transaksionalisme masuk lewat karpet merah. Done deal is the deal.
Wujud paling nyata dari metode tersebut adalah penggunaan tarif sebagai senjata untuk membawa mitra dagang ke meja runding. Trump sendiri berkali-kali mengulangi janji akan memulai pemberlakuan tarif impor baru pada hari pertama sebagai Presiden A.S. Tiongkok akan dikenakan 60%, sementara Meksiko dan Kanada menerima ancaman tarif impor 25%.
Efektivitas tarif impor sebagai senjata geoekonomi memang perlu dilihat lebih lanjut. Akan tetapi, kebijakan ini bisa memiliki dampak inflasioner terhadap ekonomi A.S. Negeri Paman Sam adalah perekonomian yang bergantung pada impor makanan, minuman, dan bahan baku makanan, membuat tarif impor berdampak langsung dengan menaikkan harga-harga barang konsumen.
Apa Setelah Ini?
Kalau kita lihat dari selisih yield obligasi pemerintah jangka menengah (10 tahun) dan pendek (2 tahun), terlihat adanya tren menanjak yang menguat mendekati 20 Januari 2025. Arti tren tersebut adalah pasar berekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi dan inflasi A.S. akan melenting sepanjang 2025. Ekspektasi bisa keliru, namun faktor realpolitik kebijakan memang mengarah ke situ. Ledakan industri migas dan teknologi akan berlanjut seiring dengan makin mahalnya harga barang konsumsi di keranjang belanja Amerika Serikat.
(rio)