Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah turut menjadi faktor kedua yang memengaruhi pergerakan indeks. Faktor ketiga berasal dari eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah yang turut menambah tekanan pada pasar keuangan.
“Ketiga hal tersebut tentu saja perlu diantisipasi. Apa yang telah dilakukan oleh OJK dan SRO di paruh pertama adalah ketika menetapkan buyback tanpa RUPS serta dilakukan dialog soliditas dan sinergi dengan stakeholder pasar modal,” terang Iman.
Langkah lanjutan yang ditempuh otoritas dan penyelenggara pasar, lanjut Iman, mencakup penetapan kebijakan trading halt, penyesuaian aturan auto rejection bawah (ARB), serta penerapan mekanisme ARB baru pada paruh pertama 2025.
“Kondisi ini tentu saja terlihat bahwa dengan adanya penyesuaian atau adjustment dari aturan yang dibuat oleh OJK maupun Bursa dan SRO menyebabkan bahwa pasar modal kita rebound di paruh kedua 2025,” imbuhnya.
Memasuki paruh kedua tahun ini, IHSG menunjukkan pemulihan yang signifikan dan kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Secara kumulatif, IHSG mencatatkan 24 kali ATH sepanjang 2025. Seiring dengan penguatan tersebut, kapitalisasi pasar BEI juga mencetak rekor baru dengan menembus level Rp16.000 triliun.
Rekor tertinggi IHSG sepanjang masa tercatat pada 8 Desember 2025, saat indeks mencapai level 8.711.
Iman menambahkan, sejumlah faktor turut menopang penguatan pasar pada paruh kedua tahun ini, antara lain perkembangan geopolitik global, penurunan suku bunga acuan The Federal Reserve sebanyak tiga kali, serta kebijakan pro-pertumbuhan dari pemerintah.
“Terkait dengan geopolitik, terkait dengan penurunan Fed Rate ya dilihat bahwa paruh kedua itu tiga kali ada penurunan daripada Fed. Lalu, ada pro-growth pemerintah, termasuk injeksi likuiditas di Rp200 triliun (ke Bank Himbara), bahkan ditambahkan oleh Menteri Keuangan (Purbaya) terkait dengan Bank BPD juga,” pungkasnya.
(dhf)


























