Produsen iPhone, Apple, bahkan rela memecat karyawan senior dengan peran manajer hingga staf yang telah bekerja 20–30 tahun. Beberapa adalah mereka yang membidangi government sales atau proyek kendaraan otonom (efek dari penutupan pengembangan EV autonomous).
AI Jadi Cara Perusahaan Bertahan
Pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif. Anggaran biaya menjadi lebih berkualitas. Semuanya karena kecerdasan artifisial, dan menjadi tidak mengherankan bahwa semakin banyak perusahaan yang berpikir untuk merencanakan PHK dalam jangka panjang.
Beberapa studi menyebutkan persentase yang berbeda menyoal substitusi AI dan manusia atas sebuah pekerjaan. Daron Acemoglu, seorang profesor terkenal di Massachusetts Institute of Technology (MIT) memaparkan bahwa AI hanya akan mengambil alih 5%, dengan arguments bahwa teknologi hanya membantu proses kerja, bukan berarti menjadi ancaman.
Acemoglu, yang menjadi akademisi pendukung AI, mengamini bahwa AI membawa lompatan produktivitas terkait terobosan yang mereka hadirkan. AI menjadi bagian penting dalam karya ekonominya selama bertahun-tahun. “Banyak uang yang akan terbuang sia-sia. Anda tidak akan mendapatkan revolusi ekonomi dari 5% itu,” tutur Acemoglu.
Studi MIT terpisah yang rilis pada awal Desember berbasis simulasi Iceberg Index, merevisi persentase dengan menyebut AI saat ini sudah bisa mengambil alih atau menggantikan 11,7% pasar tenaga kerja Amerika Serikat, atau setara US$1,2 triliun.
Baca Juga: Apple ‘Nyerah’ saat Pesaingnya Berambisi Buat Lompatan Besar EV
Direktur Program AI di ORNL dari MIT menerangkan bahwa AI sebagai ‘puncak gunung es’ problematika PHK dengan dunia yang terus mengalami pergeseran peran di bidang teknologi, komputasi, dan teknologi informasi. Namun riset MIT diklaim bukan mesin prediksi dan dapat diperlakukan sebagai penggambaran yang berpusat pada keterampilan tentang apa yang sudah bisa dilakukan oleh sistem AI.
Studi potensi AI dalam menggantikan peran pekerjaan manusia ini justru memberi pembuat kebijakan cara terstruktur untuk mengeksplorasi skenario bagaimana jika sebelum mereka mengeluarkan dana dan legislasi yang sebenarnya.
Perkembangan AI juga sejalan dengan tren peningkatan inflasi dunia akibat kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump, yang berujung pada lompatan biaya produksi sebuah perusahaan. Meski begitu tesis berseberangan disampaikan Fabian Stephany, akademisi dari Oxford Internet Institute, yang menyebut PHK hanyalah cara perusahaan “menyesuaikan kondisi pasar” setelah era pandemi mereka melakukan rekrutmen berlebihan, dilaporkan CNBC.
AI Tak Terelakkan
Otomatisasi berbasis kecerdasan buatan tak terelakkan. Amazon hanyalah contoh yang banyak disorot. Procter & Gamble, Target, hingga Nestle melakukan mode serupa. Nestle bahkan di benua Eropa menjadi penyumbang terbesar setelah pengurangan 16.000 karyawan di pertengahan Oktober. PHK mewakili sekitar 6% dari total karyawan Nestle.
Survei kepada kalangan eksekutif di Amerika menerangkan bahwa investasi AI yang diproyeksikan telah melonjak 14% sejak kuartal pertama menjadi rata-rata US$130 juta (Rp2,18 triliun) dalam setahun ke depan.
Baca Juga: Ekspansi Bisnis ke Mobil Listrik: Xiaomi Sukses-Apple Gagal Total
Masih dari data KPMG, 78% eksekutif mengatakan mereka ada di bawah tekanan amat berat dari para direksi dan investor untuk membuktikan bahwa AI dapat menghemat biaya dan meningkatkan keuntungan.
Lapisan yang paling rentan digantikan AI adalah entry-level di industri teknologi. Para perekrut cenderung menurunkan peluang membuka kesempatan kerja pada lulusan baru, namun ke menengah dan senior tetap kuat, sementara, dikutip dari laporan “State of Talent Report” tahun 2025 dari SignalFire.
Lebih rinci dijabarkan bahwa lulusan baru hanya menyumbang 7% dari total perekrutan di big tech tahun lalu. Angka ini turun 25% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada industri startup juga tidak lebih baik, dengan lulusan baru hanya menyumbang 6% dari total perekrutan baru, turun 11% dibandingkan tahun 2023.
Meski begitu SignalFire tidak menyebutkan bahwa AI adalah satu-satunya penyebab lulusan baru makin sulit mencari pekerjaan. Laporan tersebut menyebutkan beberapa faktor, termasuk isu suku bunga AS yang lebih tinggi, serta pola pemangkasan biaya dari pada big tech dan startup.
- Dengan asistensi Whery Enggo Prayogi
(red)

































