"Jadi kita ya mesti menghematlah. Jangan di saat harga rendah, kita jual jor-joran. Tapi pada saat harga tinggi, kita udah kehabisan," ungkap dia.
Lebih lanjut, dia juga menegaskan Kementerian ESDM sedang mengkaji untuk memperlakukan mineral ikutan nikel seperti kobalt sebagai komoditas tersendiri yang dikenai royalti.
"Rencananya begitu, tapi belum kelar [kajiannya]," kata Tri.
Ihwal potensi penambahan setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari royalti kobalt, Tri enggan mengungkap besarannya. "Nanti let's see lah," ujar Tri.
Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkap formulasi HPM komoditas nikel akan direvisi oleh Kementerian ESDM pada awal 2026.
Salah satu poin revisinya, ungkap APNI, pemerintah akan mulai memperhitungkan mineral ikutan nikel seperti kobalt sebagai komoditas tersendiri yang dikenai royalti.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan revisi formula HPM tersebut ditargetkan terbit pada Januari atau Februari 2026.
Dia memastikan formula baru tersebut akan menguntungkan penambang dan tetap menambah setoran penerimaan negara meningkat.
"Ya, perubahan formula. [Hal] yang pasti akan ada perubahan. Entah itu nanti, pasti akan segera keluar. Revisi apakah Januari, apakah Februari, yang pasti secepatnya," kata Meidy saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (16/12/2025).
Meidy mengaku belum dapat mengungkap materi revisi formula HPM nikel tersebut. Dia hanya membocorkan nantinya mineral ikutan nikel seperti kobalt berpotensi terkena royalti, sebab diperlakukan sebagai mineral tersendiri.
"Itu akan masuk dalam formulasi. Kan sudah ada produk kobalt, kobalt sulfatnya sudah ada. Masa materialnya gratis. Pokoknya ada mineral pengikut yang kita minta pemerintah untuk hitungkan masukkan ke dalam revisi, pokoknya ada beberapa lah," tutur Meidy.
Dalam kesempatan sebelumnya, Meidy sempat memberikan solusi alternatif yang bisa ditempuh pemerintah dalam menerapkan penyesuaian tarif royalti sektor minerba, tanpa harus mencederai pelaku industri pertambangan nasional.
Menurut Meidy, alih-alih menaikkan royalti dengan sistem tarif progresif terhadap mineral logam dasar, pemerintah dapat menerapkan royalti baru pada mineral-mineral ikutan yang selama ini belum terpapar tarif minerba.
"Mineral ikutan itu ada berbagai macam. Misalnya kobalt, lalu fero [Fe atau besi]. Itu kan ada produknya dan mineral pengikut itu juga punya value. Dia bukan mineral kotor, tetapi punya nilai seperti kobalt yang bisa diolah sebagai bahan baku prekursor katoda untuk baterai NMC [nickel cobalt manganese]," ujar Meidy saat dihubungi, Rabu (12/3/2025).
Di industri baterai, lanjutnya, kobalt sebagai mineral ikutan nikel memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akan tetapi, selama ini pemerintah hanya menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt dan belum memperhitungkan formulasi harga untuk bahan baku atau bijihnya.
"Kalau itu bisa dihitung dan dikategorikan sebagai mineral pengikut, kan bisa diterapkan royalti entah 2% atau 10%. Tentu negara kan ada penghasilan tambahan, dan itu angkanya lumayan signifikan karena harga kobalt dua kali lipat [dari harga nikel] walaupun nilai konten kobalt dalam nikel itu hanya 0,1%," terang Meidy.
Dia menggambarkan kandungan kobalt ikutan dalam bijih nikel yang diperdagangkan pada 2023—2024 mencapai sekitar 0,1%. Jika kobalt ikutan tersebut dikenai royalti, Meidy menyebut pemerintah sebetulnya berpotensi mendapatkan tambahan pemasukan sekitar US$600 juta.
Dengan demikian, dia mengusulkan agar pemerintah lebih baik menerapkan royalti kobalt sebagai mineral ikutan dari bijih nikel, ketimbang menaikkan tarif royalti progresif untuk bijih nikel itu sendiri.
(azr/ros)






























