“Lalu pengalihan insentif CBU 2026 menjadi syarat TKDN 40% di 2026 dan 60% di 2027 adalah cara untuk memaksa produsen berinvestasi dalam produksi komponen di dalam negeri, sebagai langkah logis berikutnya sampai ke pengembangan IMKM komponen di dalam negeri sekaligus secara bertahap menghidupkan rantai pasok lokal yang selama ini mati suri digempur impor komponen para industri perakit, sebagai upaya untuk membangun kemandirian industri otomotif di Indonesia kedepannya”
Seleksi Alam Merek EV
Pada akhirnya, menurut Yannes, pencabutan insentif ini berpotensi menimbulkan cerulean ekonomi, terutama dalam jangka pendek karena akan menaikkan harga jual EV secara drastis yang berdampak pada penundaaan konsumen untuk membeli EV atau beralih ke mobil ICE dan/atau HEV
“Kemudian, investor yang selama ini melakukan makloon di perakitan lokal bukan miliknya bakal hengkang dan menimbulkan potensi capital outflow atau pembatalan rencana investasi dari brand-brand baru” kata Yannes
Ia pun mengatakan bahwa seleksi alam bisa saja terjadi karena produsen EV manapun yang menggunakan strategi asset-light serta yang hanya berniat testing the wave atau sekadar berniat trading akan tersapu bersih, karena akan mustahil bagi produsen-produsen ini untuk mendapatkan insentif.
Pada akhirnya, harga jual EV tersebut akan melambung tinggi dan sulit berkompetisi di red ocean captive automotive market Indonesia di range harga range Rp200-350 jutaan.
“Intinya, era para pedagang sudah tamat dengan kebijakan baru pemerintah tersebut” kata Yannes.
Yang jelas kata Yannes, melalui Permenperin 35/2025, pemerintah tampaknya sengaja membiarkan hal itu terjadi untuk membersihkan pasar dari investor "pedagang'" yang hanya sekedar merakit tanpa pendalaman industri dan menjadikan Indonesia sebagai pasar saja.
(ell)

































