"Meski AS masih mendominasi bagian atas rantai teknologi, Asia—terutama China, Taiwan, Korea, dan Jepang—kini menjadi pilar penting dalam rantai nilai AI, seringkali tanpa tekanan valuasi ala AS."
Kekuatan reli ini sangat mencolok. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China semuanya mencatatkan kenaikan dua digit tahun ini. Indeks Kospi Korea Selatan saja meroket 71%, menjadikannya salah satu pasar utama dengan kinerja terbaik secara global.
Di China, saham-saham menuju tahun terkuatnya sejak 2020, didorong oleh antusiasme seputar kecerdasan buatan. Kemajuan AI DeepSeek membantu menghidupkan kembali minat terhadap teknologi China, bidang yang sebelumnya sangat tertekan akibat tekanan regulasi bertahun-tahun.
Kepala Investasi Colonial First State yang berbasis di Australia, Jonathan Armitage mengungkap fokus baru pada teknologi China telah memperkuat prospek manajer investasi tersebut untuk saham pasar negara berkembang hingga 2026.
Tentu saja, reli ini disertai risiko. Pemulihan ekonomi China tidak merata, dan penguatan dolar AS akan merugikan imbal hasil bagi investor asing. Ada juga kekhawatiran bahwa reli saham teknologi terkait AI semakin ramai, yang akan membuat harga rentan jika pertumbuhan melambat atau sentimen berbalik.
Meski demikian, beberapa investor mengatakan risiko tersebut tidak mengubah gambaran besarnya. Reli lintas aset di kawasan ini dipandang sebagai tahap awal dari siklus re-rating yang lebih panjang—periode ketika pasar dinilai lebih tinggi seiring dengan membaiknya prospek pertumbuhan.
"Dengan mesin pertumbuhan yang lebih panas dan lebih beragam daripada AS atau Eropa, 2025 tampaknya bukan puncak bagi Asia, melainkan tahap awal dari siklus re-rating yang lebih panjang," papar Chen dari Vantage Global.
Minat investor menyebar di luar pasar terbesar, Vietnam muncul sebagai favorit. Saham di sana melesat sekitar 38% tahun ini, dan sejumlah investor mengatakan reli ini bisa berlanjut.
"Kami paling optimistis terhadap Vietnam, yang memiliki karakteristik nilai dan pertumbuhan yang menarik," beber Nick Ferres, Kepala Investasi Vantage Point Asset Management, Singapura.
FX, Kredit
Melemahnya dolar AS telah meningkatkan nilai aset Asia bagi investor berbasis dolar, membuat imbal hasil terlihat lebih menarik saat sebagian besar mata uang Asia menguat.
Yuan offshore China diperdagangkan mendekati level terkuatnya dalam lebih dari setahun, serta dolar Australia dan Selandia Baru menguat seiring pelaku pasar mulai memperhitungkan kebijakan moneter yang lebih ketat. Sementara itu, ringgit Malaysia dan baht Thailand mendekati kenaikan 10%.
"Terlepas dari volatilitas seputar tarif, mata uang Asia—termasuk dolar Australia—secara umum berkinerja baik," kata Wee Khoon Chong, ahli strategi pasar senior Asia-Pasifik di BNY.
"Dolar AS yang lemah, pertumbuhan perdagangan regional yang tangguh, dan optimisme yang dipimpin oleh AI telah menguntungkan Asia tahun ini dan kemungkinan akan berlanjut hingga tahun 2026."
Sentimen bullish meluas ke utang korporasi. Indeks utang investasi berdenominasi dolar AS di Asia telah mengalahkan indeks AS dan di jalur menuju kenaikan tahunan terbesar sejak 2019.
Selisih imbal hasil sedikit di atas rekor terendah yang dicapai pada November, sementara selisih imbal hasil utang berisiko tinggi tetap di dekat level terendah tujuh tahun yang dicapai pada September.
"Kita berbicara tentang pasar dengan kualitas kredit tinggi, terutama dalam hal peringkat investasi, yang didukung oleh fundamental yang kuat," tegas Omar Slim, co-head of Asia fixed income PineBridge Investments.
Di luar China, gagal bayar sangat minim, sementara penerbitan "terkendali dan diminati oleh tumpukan uang yang semakin banyak," kata Slim.
(bbn)































