Logo Bloomberg Technoz

Setelah berselang 4 bulan menahan suku bunga acuan di level 5,75%, BI kembali memutuskan untuk memangkas BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,5% pada Mei 2025. Bank sentral juga memangkas suku bunga deposit facility dan lending facility pada level yang sama.

Dua bulan kemudian, bank sentral kembali menurunkan BI Rate 25 bps ke level 5,25% pada Juli 2025. Beriringan, suku bunga deposit facility dan lending facility juga turun masing-masing 4,5% dan 6%.

Secara beruntun, BI kembali memangkas BI Rate pada Agustus dan September 2025 masing-masing 25 bps atau totalnya 50 bps menjadi 4,75%. Menariknya, bank sentral memangkas suku bunga depposit facility mencapai 50 bps pada September menjadi 3,75%, sedangkan lending facility hanya 25 bps menjadi 5,5%.

BI Masih Buka Ruang Pangkas Suku Bunga Acuan 2026

Dalam perkembangannya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan arah kebijakan moneter pada tahun depan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Edisi Desember 2025. Perry menegaskan BI membuka ruang untuk kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate pada tahun depan.

Menurut dia, bank sentral menjalankan kebijakan moneter melalui tiga instrumen utama, yakni instrumen suku bunga, stabilitasi nilai tukar, dan instrumen pengelolaan atau ekspansi likuiditas melalui operasi moneter.

"Terkait suku bunga, ke depan masih ada ruang penurunan suku bunga," ujar Perry dalam konferensi pers hasil RDG BI, Rabu (17/12/2025).

Dasar pertimbangannya, lanjut dia, adalah proyeksi inflasi yang tetap rendah dan terkendali dalam sasaran. Kemudian, BI perlu terus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi bersama pemerintah dan berbagai pihak lain.

"Tentu saja tingkat penurunan maupun waktunya akan kami evaluasi dari bulan ke bulan melalui asesmen, baik dari sisi inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nilai tukar dan kondisi moneter yang lain," papar dia.

"Kami terus mencermati ruang penurunan suku bunga, besarnya berapa, waktunya kapan, nanti kami akan evaluasi dari setiap RDG bulanan ke bulan berikutnya."

Dari sisi instrumen stabilisasi nilai tukar rupiah, Perry menjelaskan bahwa bank sentral akan terus melakukan intervensi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian yang masih tinggi. Caranya, melalui intervensi di pasar luar negeri, non-delivery forward (NDF) di Asia, Eropa, maupun AS. Selain itu, juga intervensi di pasar valas domestik, baik secara tunai, pasar spot, NDF, maupun pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. 

Terakhir, dari sisi instrumen ekspansi likuiditas. Bank sentral berkomitmen untuk terus meningkatkan pertumbuhan uang primer.

"Mulai Desember dan tahun depan arahnya adalah double digit," tutur dia. 

Menurut Perry, hal itu dilakukan sebagai upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi, "agar ekspansi likuiditas yang sudah kami alirkan ke perbankan bisa mengalir juga ke sektor riil."

Upaya itu tentu saja bersinergi dengan pemerintah sebagai pengampu kebijakan fiskal. Pasalnya, bank sentral tidak bisa secara langsung mengalirkan likuiditas ke sektor riil.

"Maka itu, kami terus koordinasi erat dengan menkeu yang terus mendorong ekspansi fiskal agar aliran likuiditas di perbankan bisa mengalir ke sektor riil," tegas Perry.

Pangkas BI Rate Sudah Tepat, Transmisi Perbankan Lambat

Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menilai, meskipun BI sudah melakukan pelonggaran moneter dengan memangkas BI Rate sebesar 125 bps, transmisi kebijakan kelihatannya belum optimal ke sektor perbankan. 

"Hal ini terlihat dari pertumbuhan kredit yang hanya mencapai 7,74% per November 2025. Kondisi ini berdampak pada pertumbuhan uang beredar M2, meskipun BI telah melonggarkan suku bunga acuan," kata David kepada Bloomberg Technoz, Senin (22/12/2025).

Uang beredar M2 merupakan ukuran likuiditas perekonomian yang mencakup uang dalam arti sempit (M1) ditambah simpanan berjangka, tabungan dalam rupiah dan valas, serta surat berharga yang diterbitkan sistem moneter.

Untuk mendorong jumlah uang beredar, lanjut dia, perbankan perlu meningkatkan kredit. Dalam hal ini, BI telah mengambil beberapa langkah kebijakan untuk mendorong hal tersebut. Selain pemangkasan BI Rate, bank sentral juga menerapkan pelonggaran kebijakan melalui insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial.

"Kebijakan tersebut mencakup dua channel, yakni kredit untuk insentif untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor-sektor tertentu, dan channel suku bunga yang memberikan insentif bagi bank untuk menurunkan suku bunga kredit," tutur David.

Kendati demikian, perbankan mengalami kendala dalam menurunkan suku bunga kredit karena minat terhadap kredit baru yang masih terbatas. Suku bunga deposito juga belum turun seiring dengan penurunan BI rate, sementara risiko kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) masih tinggi, sehingga premi risiko juga relatif tinggi.

Di sisi lain, perbankan baru dapat menurunkan special rate untuk deposan raksasa seiring dengan perkembangan makroekonomi. Ketika suku bunga pasar mulai turun, hal ini akan berpengaruh pada penurunan yield instrumen lain, yang pada akhirnya juga akan menurunkan special rate untuk deposan.

"Meskipun BI telah memangkas suku bunga dan The Fed juga mulai melakukan pemangkasan suku bunga, perlu waktu untuk melihat transmisi dari kebijakan ini ke dalam suku bunga deposan."

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menjelaskan kebijakan BI memangkas BI Rate 125 bps sepanjang tahun ini merupakan keputusan yang tepat. Namun, pelonggaran moneter dari sisi suku bunga acuan saja tidak cukup, karena ternyata bank tidak mentransmisikan kebijakan itu pada tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah. Faktanya, bunga kredit hanya berkurang 24 bps.

"Permasalahannya ada di sektor riil, bukan di sektor moneter. Jadi, kebijakan sektoral yang harus diperbaiki, sehingga dunia usaha semakin optimis dan melakukan ekspansi. Uang beredar ditingkatkan bersamaan dengan bergulirnya ekonomi," papar Wijayanto kepada Bloomberg Technoz, Senin (22/12/2025).

Menurut dia, terjadi inefisiensi sektor perbankan, seperti terlihat dari Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) yang tinggi. Selain itu, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang relatif tinggi membuat bank lebih suka menempatkan dananya pada dua instrumen tersebut ketimbang memberi kredit dengan risiko yang tinggi.

"Risk adjusted return SBN dan SRBI lebih tinggi dari risk adjusted return memberikan kredit, apalagi outlook ekonomi kita masih belum pasti, sehingga SBN semakin menjadi preferensi sektor perbankan," kata Wijayanto.

Di sisi lain, perbankan yang beroperasi di Tanah Air juga sulit menurunkan imbal hasil istimewa atau special rate para deposan dengan dana jumbo karena mereka memiliki pilihan, SBN atau deposito di bank lain.

"Solusi paling tepat adalah dengan mengurangi ketergantungan pemerintah kepada SBN, saat ini 87,4% utang dalam bentuk SBN. Caranya adalah mengurangi defisit ABPN dengan memangkas belanja tak perlu serta mulai membangun lagi program loan sebagai sumber pendanaan APBN," tutur Wijayanto. 

Dengan asistensi Pramesti Regita Cindy

(lav)

No more pages