Namun, ia menegaskan bahwa kesiapan psikis tersebut tidak bisa hanya berdasarkan penilaian subjektif orang tua.
Menurutnya, kesiapan psikologis anak CIBI harus dibuktikan dengan surat keterangan tertulis dari hasil pemeriksaan profesional. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh psikolog atau tenaga medis yang berkompeten untuk menilai kesiapan mental dan emosional anak.
“Tidak boleh orang tua begitu saja menyatakan anaknya sudah siap atau cerdas berbakat. Dalam peraturan memang harus ada surat keterangan tertulis sebagai penunjang,” jelasnya.
Sementara itu, bagi anak yang sudah berusia 6 tahun atau prioritas usia 7 tahun, tidak diperlukan surat pemeriksaan psikologis sebagai syarat masuk SD.
Meski demikian, Dr. Hesti mengingatkan agar orang tua tidak hanya terpaku pada usia anak. Ia menekankan pentingnya stimulasi tumbuh kembang sejak dini agar anak benar-benar siap saat memasuki usia sekolah, baik dari sisi emosional, sosial, maupun kognitif.
Selain skrining, Dr. Hesti juga menyoroti peran orang tua sebagai faktor paling penting dalam menyiapkan anak masuk sekolah. Menurutnya, orang tua merupakan figur terdekat anak sejak awal kehidupan, sehingga memegang peranan utama dalam proses perkembangan yang berkesinambungan.
Ia menjelaskan bahwa kesiapan anak usia sekolah tidak terlepas dari proses panjang sejak masa bayi, balita, hingga 1.000 hari pertama kehidupan. Peran orang tua dapat dimulai dari pembentukan bonding yang baik, misalnya melalui pemberian ASI eksklusif pada usia di bawah 6 bulan, pemenuhan nutrisi yang tepat, serta stimulasi perkembangan sesuai tahapan usia.
“Orang tua adalah pengamat pertama perkembangan anak, termasuk jika ada keterlambatan atau masalah. Orang tua juga berperan melalui stimulasi, pemantauan perkembangan lewat buku KIA, pencegahan penyakit, hingga pemberian imunisasi sebagai bentuk pemenuhan hak anak,” pungkas Dr. Hesti.
(dec/spt)






























