Perkiraan dampak banjir akan mancapai maksimal sekitar 60 cm selama musim hujan terbaru, bahkan pada wilayah tertentu ketinggian genangan akibat banjir bisa mencapai 4 sampai 5 meter, kata Lalith Rajapakse dari Universitas Moratuwa di Sri Lanka.
Meski begitu tidak secara tepat penentuan seberapa besar perubahan iklim meningkatkan curah hujan dari dua siklon tersebut. Setiap permodalan menghasilkan angka yang inkonsisten berpangkal dari aspek yang memengaruhi seperti dinamika regional serta pola global, contoh La Niña, sebut Imperial College London.
Matt Sechovsky, kepala riset ESG di BMI, unit dari Fitch Solutions, nenambahkan bahwa cuaca di Asia sangat ekstrem dan “kita tidak boleh terkejut bahwa model perubahan iklim tidak dapat memprediksinya dengan baik.”
“Model iklim cenderung meremehkan laju perubahan iklim yang kita lihat sejak sekitar tahun 2022,” Sechovsky menambahkan.
“Meskipun sulit untuk mengukur dampak ketidakpastian tersebut terhadap pertumbuhan dan mata pencaharian, hal itu tentu saja menghambat aktivitas, serta menjadi beban bagi penduduk wilayah tersebut,” kata Frederic Neumann, ekonom Asia HSBC Holdings Plc., juga menyatakan bahwa salah tantangan ekonomi pada sebuah wilayah adalah cuaca yang tak menentu.
Bulan November Telah Muncul Sinyal
Kelompok ilmuwan lain, ClimaMeter, sebuah kelompok atribusi di Institut Pierre-Simon Laplace Prancis, telah menemukan jejak perubahan iklim dalam banjir bulan lalu.
Temuan mereka mempriduksi bahwa kondisi meteorologi yang menyebabkan banjir di Indonesia pada November mencapai 7 milimeter per hari — atau 15% — lebih basah daripada yang seharusnya terjadi di masa lalu, berdasarkan analisis data cuaca historis yang tidak bergantung pada model iklim.
Meski begitu, ClimaMeter tidak cukup yakin terhadap hasil temuan karea peristiwa serupa jarang terjadi dan tidak muncul secara reguler berdasarkan catatan atau data. ClimaMeter menyimpulkan bahwa variabilitas iklim alami, termasuk kondisi La Niña yang biasanya lebih basah, kemungkinan besar berperan kecil dalam banjir tersebut.
Gianmarco Mengaldo, Asisten Profesor bidang komputer dan matematik dari NUS Singapura menyampaikan, penilaian cepat ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan “peningkatan intensitas curah hujan ekstrem di Asia Tenggara dalam beberapa dekade terakhir.”
(red)

































