Logo Bloomberg Technoz

“Restitusi merupakan hak, bukan distorsi ataupun pengurangan riil penerimaan negara,” tegas Gita.

Tambang batu bara di Kalimantan. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Di sisi lain, dia menegaskan industri batu bara sudah memberikan kontribusi yang cukup banyak untuk penerimaan negara.

Antara lain; melalui pungutan royalti minerba, pembayaran pajak penghasilan (PPh) badan, pajak dan pungutan lainnya, serta kontribusi terhadap lingkungan dan sosial.

“Ya kontribusi pajak dan pungutan dari sektor batu bara sudah banyak dan beragam,” ungkap Gita.

Purbaya sendiri sebelumnya menyebut implikasi pemberlakuan UU Ciptaker sangat menguntungkan pengusaha batu bara.

UU tersebut menetapkan batu bara menjadi BKP, yang pada akhirnya berkonsekuensi terhadap mekanisme restitusi pajak bagi pengusaha batu bara dengan potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp25 triliun/tahun.

"Pada waktu UU Ciptaker diterapkan 2020, menguat status batu bara dari nonbarang kena pajak menjadi barang kena pajak. Akibatnya, industri batu bara bisa minta restitusi PPN ke pemerintah, itu sekitar Rp25 triliun/tahun," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung Parlemen, awal pekan ini.

Meski ada sejumlah biaya lainnya yang turut membebani industri batu bara, termasuk kontribusi pajak lain, Purbaya mengatakan negara tetap mengalami defisit ketimbang besaran keuntungan yang didapatkan pengusaha.

Dia lantas menuding jika UU yang diundangkan sejak 5 tahun lalu tersebut seolah-olah pemerintah memberikan subsidi lebih banyak kepada pengusaha emas hitam.

"Walaupun mereka ada cost-nya digelembungin segala macam, net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif. Jadi UU itu seperti pemerintah memberikan subsidi ke industri yang sudah untungnya banyak," tutur dia.

Purbaya lantas mengatakan, skema restitusi tersebut juga belakangan telah membuat capaian penerimaan negara saat ini makin berkurang.

"Makanya kenapa pajak saya tahun ini turun, karena restrukturisasi cukup besar," kata Purbaya.

Sebagai informasi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) Hendra Sinadia mengungkapkan komoditas batu bara telah dikenakan sejumlah pungutan seperti penerimaan negara bukan pajak (PNBP), iuran pascatambang, tarif royalti batu bara, hingga pungutan tambahan bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

“Kita ada royalti, terus pajak-pajak yang lain juga PNBP naik terus, ada pascatambang iuran ini-itu mungkin jauh lebih besar dari 15%,” kata Hendra ketika ditemui di kawasan Jakarta Selatan, belum lama ini.

Terbaru, pemerintah juga akan mengenakan tarif bea keluar (BK) ekspor batu bara yang diisukan akan mulai berlaku 2026 mendatang. Tarif BK batu bara disinyalir berkisar antara 1% hingga 5%.

(azr/wdh)

No more pages