Meski kendaraan listrik alias EV dengan harga Rp100 jutaan sempat mencatatkan penjualan yang cukup baik, ia tak meyakini bahwa pengiriman dari EV tersebut akan cukup cepat untuk mengejar permintaan pasar.
“EV dengan harga 100an juta sebagai kendaraan komuter tentu bisa membantu, namun apakah pengadaannya bisa mengejar permintaan. Jika hanya angka-angka pesanan yang dimasukan sebagai angka penjualan, kita hanya menghibur diri.” kata Bebin.
Ia juga mengingatkan bahwa secara emosional banyak masyarakat yang mengharap kendaraan listrik dengan harga terjangkau. Namun demikian, kualitas juga sudah menjadi pertimbangan bagi konsumer di Indonesia. Jadi faktor harga saja tak mampu mendongkrak permintaan pasar.
2026 Sulit Pulih Tanpa Katalis
Ke depan Bebin juga menilai bahwa pasar otomotif yang ada di Indonesia juga akan sulit pulih. Pasalnya, ia menilai jika daya beli masyarakat di tahun 2026 belum akan pulih.
Ditambah lagi dengan bencana alam yang kemungkinan besar masih menimpa masyarakat dan potensi bencana akhir tahun yang bisa saja terjadi kapan saja, perekonomian bukan tidak mungkin akan tergerus.
“Industri otomotif harus siap menghadapi jilid-jilid yang mungkin lebih buruk dari 2025, sementara menteri menyatakan industri ini sudah pulih melihat ramainya pameran, tragis!” kata Bebin.
Menurut Bebin, panasea bagi industri otomotif bukanlah insentif yang sifatnya sementara dan jangka pendek saja. Salah satu insentif yang menurutnya akan punya andil adalah dengan merubah sistem perpajakan terhadap kendaraan bermotor.
Mengingatkan saja, meski Kementerian Perindustrian menyebut bahwa pihaknya tengah menggodog insentif bagi sektor otomotif, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto malah memastikan pada tahun depan pemerintah tidak akan menggelontorkan insentif di bidang otomotif.
“Insentif tahun depan tidak ada” tegas Airlangga kepada wartawan, Rabu (26/11/2025).
“Karena industrinya sudah cukup kuat apalagi sudah pameran di sini, kuat banget,” jelas dia.
(ell)































