Dalam pernyataan tertulis, Universitas Kamar Dagang Thailand mengatakan pemerintah memperkirakan kerugian mencapai sekitar 500 miliar baht (US$15,6 miliar), dan banjir ini merupakan yang terparah yang pernah terjadi di Thailand selatan.
"Gangguan berulang seperti ini mengikis kepercayaan terhadap keandalan Thailand sebagai pusat pasokan regional. Jika kami tidak dapat menjamin pengiriman tepat waktu, pembeli akan mencari alternatif lain," jelas Kemendag dalam pernyataan yang disusun Kantor Kebijakan dan Strategi Perdagangan.
"Vietnam dan Indonesia tidak akan menunggu kami pulih. Jika pembeli asing beralih ke pemasok alternatif sekarang, akan sangat sulit untuk memenangkan kembali mereka di kemudian hari."
Negara ini menghadapi kerugian tambahan hingga US$400 juta per bulan jika kondisi ini terus berlanjut. Komponen elektronik, suku cadang otomotif, dan lateks konsentrat termasuk di antara ekspor yang terdampak.
Dalam beberapa kasus, banjir menghentikan penerbitan sertifikat asal yang diperlukan untuk memproses ekspor. Bagaimanapun, topografi berbentuk mangkuk di kawasan Hat Yai, Provinsi Songkhla yang paling parah terdampak, telah memutus akses eksportir ke pos pemeriksaan Sadao dan Padang Besar, yang menangani 96% perdagangan perbatasan bilateral dengan Malaysia.
Banjir ini terjadi di penghujung tahun yang penuh cobaan bagi Thailand. Pada Maret, terdampak gempa yang menguncang negara tetangga Myanmar, serta pada Juli terlibat bentrokan perbatasan dengan Kamboja yang menewaskan puluhan orang.
Perekonomian Thailand menyusut 0,6% dalam tiga bulan hingga September dibandingkan kuartal sebelumnya. Banjir ini pun diperkirakan akan memukul industri pariwisatanya yang sudah melambat.
(bbn)


































