Dia mengatakan pihaknya akan berdiskusi lebih lanjut dengan Direktur Jenderal Minerba ESDM untuk merumuskan arah pengelolaan mineral ikutan pada 2026. Diskusi tersebut diperlukan guna memastikan bagaimana mineral-mineral ikutan dapat dioptimalkan, sehingga memberikan kontribusi pendapatan bagi perseroan.
Sambil menunggu aturan, TINS menyiapkan peta jalan pengembangan LTJ periode 2025–2027 yang fokus pada riset dan optimalisasi. Dalam proses ini, TINS berkolaborasi dengan BIM, perusahaan mineral nasional, serta institusi pendidikan.
"Diharapkan nanti di tahun 2028, kita sudah masuk ke fase industrialisasi dari logam tanah jarang," ungkap Suhendra.
TINS sendiri disebut menjadi perusahaan pertambangan timah dengan potensi cadangan monasit sekitar 25.700 ton di wilayah Bangka Belitung.
Sebagai informasi, LTJ terkandung dalam salah satu mineral ikutan timah, yakni monasit yang terdiri dari unsur dominan seperti cerium, lanthanum, neodymium, yttrium, dan praseodimium. LTJ juga mengandung thorium yang dapat diolah menjadi sumber energi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Dilarang Ekspor
Pemerintah menegaskan melarang ekspor seluruh mineral ikutan timah. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan kebijakan ini diterapkan untuk mendorong hilirisasi logam tanah jarang. Upaya tersebut akan dijalankan melalui Badan Industri Mineral, lembaga baru yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto Agustus lalu.
Bahlil menjelaskan bahwa seluruh produk turunan dari pengolahan timah harus tetap berada di dalam negeri dan dikelola secara terkontrol. Langkah ini, menurutnya, memastikan penguasaan negara atas komoditas strategis tersebut.
Dia juga menyatakan pelarangan ekspor mineral ikutan timah diterapkan karena logam tanah jarang dipandang sebagai komoditas strategis yang perlu berada di bawah kendali negara.
Bahlil menambahkan bahwa sejumlah wilayah yang belum memiliki IUP akan diprioritaskan untuk dikelola negara melalui perusahaan BUMN.
(art/ros)
































