Logo Bloomberg Technoz

“Perubahan kebijakan dapat memengaruhi harga nikel global dan harga produk turunannya,” tuturnya.

Dalam jangka panjang, kata dia, kebijakan ini dapat meningkatkan nilai tambah produk nikel, bahkan meningkatkan pendapatan negara.

Akan tetapi, regulasi anyar itu juga berdampak negatif seperti peningkatan biaya produksi dan penurunan investasi di sektor nikel.

Makanya perlu studi yang mendalam soal kebijakan ini dari berbagai aspek. Selain aspek teknis, aspek ekonomi, sosial dan keberlanjutannya,” terang Iwa.

Sebagai informasi, Kementerian Perindustrian mengonfirmasi telah memperketat penerbitan IUI smelter nikel standalone—atau yang tidak terintegrasi dengan tambang — baik jenis pirometalurgi maupun hidrometalurgi. 

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta menjelaskan hilirisasi nikel di Indonesia didorong tidak lagi diolah hingga kelas dua yakni NPI, FeNi, nickel matte, MHP; melainkan pada produk yang lebih hilir seperti nickel electrolytic, nickel sulphate, dan nickel chloride.

Akan tetapi, Setia mengungkapkan Kemenperin masih memberikan kelonggaran bagi smelter nikel yang sudah memasuki tahap konstruksi dan berencana mengolah nikel menjadi produk antara atau intermediate.

“Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025—2035 bukan lagi pada nikel kelas 2,” kata Setia ketika dihubungi Bloomberg Technoz.

Di sisi lain, Setia menegaskan hal tersebut juga dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang diteken Prabowo pada 5 Juni tahun ini.

Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa pengajuan izin pembangunan smelter baru harus menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNI dan nickel matte bagi pihak yang berencana membangun smelter nikel berbasis pirometalurgi.

Setia menyatakan nantinya Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan mengirimkan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi.

Setelah itu, lanjut dia, daftar tersebut akan disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian)

Adapun, Kemenperin mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel pemegang IUI yang beroperasi di bawah binaan Ditjen ILMATE. Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.

Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel pemegang IUI di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.

-- Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama

(mfd/wdh)

No more pages