Adapun perubahan sikap UE, kata Budi, juga turut dipengaruhi oleh situasi global, terutama ketika Indonesia dan Amerika Serikat (AS) terlibat dalam pembahasan perdagangan resiprokal.
"Nah itu ketika kita kemudian didorong masalah resiprokal Amerika, dia juga semakin ngejar kita. Ya sudah sama-sama kita butuh, akhirnya selesai," tuturnya.
Budi menyampaikan setelah kesepakatan IEU-CEPA rampung, Eropa tidak lagi menyinggung keras soal EUDR, meskipun aturan itu masih berlaku di wilayah mereka.
"Dia tidak pernah menyinggung lagi EUDR dan lain sebagainya, walaupun itu masih menjadi kebijakan mereka," imbuhnya.
Diketahui, Komisi Eropa kembali menunda EUDR selama setahun. Keputusan ini diambil setelah lebih dari dua tahun masa persiapan, di mana perusahaan telah berinvestasi besar-besaran pada langkah kepatuhan.
EUDR awalnya bakal mulai bergulir pada 30 Desember 2025 setelah sempat mengalami penundaan selama setahun pada akhir 2024. EUDR sendiri bukan dibatalkan. Namun, RI masih memiliki waktu untuk membenahi agar minyak sawit Indonesia memenuhi syarat EUDR.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor minyak kelapa sawit mentah Indonesia ke kawasan Eropa mencapai 2,20 juta ton pada 2024. Volume tersebut turun dari 2023 yang mencapai 2,24 juta ton.
Namun dari sisi nilai, ekspor minyak kelapa sawit mentah Indonesia ke kawasan Eropa mencapai US$2,03 miliar pada 2024. Nilai tersebut naik dari 2023 yang mencapai US$2,01 miliar.
Sawit dan beragam produk turunannya merupakan salah satu komoditas andalan Indonesia yang diekspor ke Eropa. Ekspor ke kawasan Benua Biru tersebut terbilang kompleks, bahkan sempat berujung gugat-menggugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Mulanya, Uni Eropa menuding deforestasi dan industri sawit Indonesia tidak memiliki standar keberlanjutan. Lantas, Pemerintah Indonesia balik menuding UE bersikap diskriminatif. Memenangkan gugatan Indonesia pada 10 Januari 2025, WTO menyebut UE terbukti bersikap diskriminatif terhadap produk sawit dari Indonesia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono melalui siaran pers menyatakan, IEU-CEPA membuka peluang luas untuk melakukan diversifikasi perdagangan dan mengurangi ketergantungan hanya pada mitra dagang tertentu. Perjanjian ini juga mendorong peningkatan standar produksi di Indonesia.
Usai penyelesaian substantif, dia mengatakan, kedua pihak akan melakukan proses telaah hukum dan prosedur domestik lainnya agar IEU-CEPA dapat segera ditandatangani pada 2026. Proses selanjutnya ialah ratifikasi di parlemen kedua pihak. Pemerintah Indonesia dan UE menargetkan agar perjanjian ini bisa diimplementasikan pada Januari 2027.
”IEU CEPA mengeliminasi hingga 98 persen total tarif, menghapus hampir semua hambatan perdagangan barang dan jasa, serta membuka jalan untuk investasi. Manfaatnya akan dirasakan oleh sektor-sektor kunci bagi kedua pihak, mulai dari produk sawit, tekstil, dan alas kaki bagi Indonesia hingga produk makanan, pertanian, otomotif, dan industri kimia bagi Uni Eropa,” ujarnya.
Menurut Djatmiko, total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa pada Januari-Juli 2025 mencapai US$18 miliar, meningkat 4,34% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada 2024, total perdagangan kedua pihak mencapai US$30,40 miliar.
Ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$17,40 miliar. Sementara impor Indonesia dari Uni Eropa sebesar US$13 miliar. Dengan demikian, Indonesia surplus sebesar US$4,4 miliar.
(ell)






























