Djap menekankan perubahan iklim kini menjadi tantangan utama sektor perkebunan. “Kehidupan kita tidak lepas dari pengaruh iklim yang semakin sulit diprediksi. Musim hujan jadi musim kemarau, musim kemarau jadi musim hujan,” katanya.
Menurutnya, ketidakpastian cuaca juga memengaruhi efektivitas pemupukan dan penyerapan nutrisi tanaman. Selain dampak El Nino, La Nina juga ikut mempengaruhi produktivitas AALI.
“Pada La Nina, curah hujan tinggi yang berlebih akan berujung pada banjir. Air terlalu banyak memang akan bagus buahnya, tapi pemanenan akan sulit,” ujar Djap.
Ia mencontohkan kondisi di Sulawesi Tengah yang sempat terdampak banjir tinggi dan membuat akses kebun terhambat. “Buah bisa dipanen, tapi tidak bisa diangkut. Karena banjir, pengangkutan harus ditunda besok atau lusa,” katanya.
Penundaan tersebut, lanjutnya, berisiko menurunkan kualitas tandan buah segar (TBS) karena tingkat keasaman buah meningkat jika tidak segera diolah.
Meski demikian Djap mengklaim perbaikan produktivitas sudah mulai terlihat pada awal 2025 seiring curah hujan yang kembali stabil di sejumlah wilayah operasional perusahaan.
Laporan bulanan perusahaan mencatat, produksi TBS dan CPO mulai meningkat secara bertahap sejak kuartal I-2025.
Data perusahaan menunjukkan tren perbaikan signifikan pada periode April hingga Juni 2025. Produksi TBS naik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menandakan kondisi tanaman mulai pulih setelah terdampak kekeringan berkepanjangan. Rata-rata produksi TBS yaitu sekitar 300 ribu ton - 320 ribu ton per bulan.
Sementara itu, produksi CPO juga mengalami kenaikan stabil di kisaran 100 ribu – 112 ribu ton per bulan pada paruh pertama 2025, lebih tinggi dibandingkan 2024 yang sempat berada di bawah 100 ribu ton.
(dhf)































