RSV bisa menyerang semua kelompok usia, mulai dari bayi, anak-anak, hingga lansia. Namun, bayi di bawah dua tahun dan orang berusia di atas 65 tahun menjadi kelompok paling berisiko karena infeksi ini dapat menyebabkan bronkiolitis atau pneumonia berat. “RSV bisa dari yang ringan seperti batuk pilek, sampai yang berat, bahkan bisa menyebabkan kematian akibat infeksi paru,” jelas dr. Ian.
Hingga saat ini, pengobatan RSV di Indonesia masih bersifat suportif, yaitu hanya untuk meredakan gejala. “Terapi antivirusnya belum tersedia di Indonesia,” kata dr. Ian. Karena itu, langkah pencegahan dinilai lebih penting, termasuk menjaga perilaku hidup bersih dan sehat, etika batuk yang benar, dan pemberian vaksin RSV pada ibu hamil di trimester akhir.
Terkait status vaksin, dr. Ian menegaskan bahwa vaksin RSV belum masuk program nasional imunisasi, sehingga sifatnya tidak wajib. “Beberapa dokter kandungan dari POGI sudah memberikan vaksin ini, tapi belum diwajibkan. Kalau mau, silakan konsultasi dulu ke dokter obgyn,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan mengapa RSV jarang terdengar dibanding influenza. Pemeriksaan RSV umumnya menggunakan tes PCR yang biayanya relatif mahal, antara Rp2–3 juta dan membutuhkan waktu satu hingga dua hari. Sementara itu, pemeriksaan antigen untuk flu biasa bisa dilakukan lebih cepat dan murah, sekitar Rp200–300 ribu, dengan hasil keluar dalam 15 menit.
“Makanya kalau influenza kedengarannya lebih sering, karena lebih mudah dan murah dideteksi,” pungkas dr. Ian.
(dec/spt)































