Pada Senin, Menteri Keuangan Scott Bessent menyakini pertemuan Trump-Xi "akan tetap terjadi," seraya menambahkan bahwa sudah ada "komunikasi substansial selama akhir pekan."
Sementara itu, ia memperkirakan akan ada pertemuan tingkat staf AS-China pekan ini, bersamaan dengan langkah pemerintahan Trump untuk menggerakkan sekutu AS guna menekan Beijing, sekaligus mengancam "tindakan balasan paksa langsung" jika Beijing tidak bertindak.
"Ini China versus dunia," kata Bessent. "Mereka telah mengarahkan bazoka ke rantai pasokan dan basis industri di seluruh dunia bebas. Dan Anda tahu, kami tidak akan membiarkannya."
Pertanyaannya sekarang adalah pihak mana yang akan menyerah lebih dulu.
Indeks S&P 500 ditutup 1,6% lebih tinggi pada Senin, kinerja terbaiknya sejak Mei, karena investor melihat perdebatan keduanya sebagai manuver strategis. Pasar China menunjukkan ketahanan terhadap gejolak, di mana indeks CSI 300 untuk saham domestik ditutup turun hanya 0,5% pada Senin.
Menurut Christopher Beddor, Wakil Direktur Riset China di Gavekal Dragonomics, meski sulit untuk mengukur siapa yang memiliki pengaruh lebih besar, yang jelas adalah sektor ekspor China dapat menahan tarif AS sekitar 50%.
"Beijing memang peduli jika tarif melebihi 100%, tetapi selama skenario itu tidak terwujud, tarif bukanlah prioritas utama," imbuhnya. "Tindakan terkait logam tanah jarang dimaksudkan untuk memaksa AS memberi konsesi dalam kontrol ekspor teknologi, tetapi juga tidak menguntungkan kedua pihak untuk menggagalkan negosiasi sepenuhnya."
Data perdagangan pada Senin menunjukkan ekspor China ke luar negeri tumbuh dengan laju tercepat dalam enam bulan terakhir, meredam dampak kenaikan tarif AS. Trump memiliki alat lain untuk menimbulkan tekanan: Ia mengancam akan menghalangi akses Beijing ke suku cadang pesawat dan berhenti menjual perangkat lunak penting ke China.
Dalam wawancara dengan Fox Business, Senin, Bessent berharap bertemu dengan mitranya, Wakil Perdana Menteri He Lifeng, "di Asia" sebelum Trump bertemu Xi. Bulan lalu, sebelum eskalasi ini, ia telah menunjuk Frankfurt sebagai lokasi untuk perundingan tahap berikutnya guna memperpanjang gencatan senjata 90 hari yang akan berakhir awal November. Perundingan ini mungkin akan menjadi landasan untuk kompromi guna menyelesaikan gejolak terbaru.
Pada akhirnya, kata Josef Gregory Mahoney, profesor hubungan internasional di East China Normal University, Shanghai, China yakin ada di atas angin.
“China yakin posisinya lebih baik daripada AS untuk menahan guncangan dari perang dagang," ujarnya. "Trump membutuhkan kesepakatan sebelum musim belanja liburan dan mungkin bahkan sebelum Mahkamah Agung memutuskan melawan dirinya," imbuhnya, merujuk pada putusan yang tertunda mengenai legalitas tarifnya.
Saat gencatan senjata dagang antara AS dan China runtuh pada Mei setelah Washington menindak raksasa cip nasional China, Huawei Technologies Co, Beijing memblokade magnet tanah jarangnya yang penting untuk memproduksi segala sesuatu, mulai dari ponsel hingga rudal. Trump merespons dengan melonggarkan beberapa kontrol ekspor, menandai perubahan besar dalam pendekatan Washington.
Jika AS tidak memberi konsesi serupa dalam tahap ini, Xi akan kembali menghambat aliran tanah jarang ke AS, dengan memperlambat sistem persetujuan lisensi yang diberlakukan awal tahun ini.
Menghapus pembatasan AS yang diberlakukan atas alasan keamanan nasional mungkin akan ditolak faksi keras anti-China di Washington, yang—meski tidak sekuat pada masa jabatan pertama Trump—tetap mendesak untuk mengambil sikap keras terhadap Beijing.
Menambah insentif untuk menjaga perundingan tetap berjalan, pemimpin Partai Republik itu di bawah tekanan dari para petani di negara-negara bagian utama pemilih untuk mencari pasar bagi kedelai AS yang tidak dibeli Beijing.
Sementara itu, kehilangan kesepakatan yang sebelumnya disepakati dengan tim Xi untuk menjaga aplikasi TikTok China beroperasi di AS akan menghambat kemampuannya untuk terhubung dengan para pemilih di platform tersebut menjelang Pemilu paruh waktu periode 2026.
Kerangka kerja Xi untuk mengendalikan logam tanah jarangnya—yang bahkan berlaku untuk pengiriman oleh perusahaan asing ke luar negeri, berdasarkan aturan terbaru—mencerminkan langkah yang telah diterapkan Washington selama bertahun-tahun pada semikonduktor mutakhirnya.
Meski pernah mengecam taktik tersebut sebagai "yurisdiksi jangkauan jauh," kini China tampaknya sedang mempermainkan AS dengan strateginya sendiri.
"Beijing mungkin juga mengadopsi beberapa taktik negosiasi khas Trump," kata Ting Lu, Kepala Ekonom China di Nomura. Hal itu termasuk "penawaran awal yang ekstrem, memanfaatkan leverage dan kelemahan lawan, serta ancaman mundur yang kredibel."
Wu Xinbo, Direktur Pusat Studi Amerika Universitas Fudan di Shanghai, mengatakan AS perlu mengurangi tindakan yang diambilnya setelah Trump dan Xi berbicara melalui telepon bulan lalu agar kedua pemimpin bisa mengadakan pertemuan pertama mereka sejak 2019.
Dalam beberapa pekan terakhir, AS telah menetapkan batas waktu untuk mengenakan biaya pelabuhan AS pada kapal-kapal China dan mencabut pengecualian era Biden yang mengizinkan beberapa produsen cip terbesar di dunia untuk tetap beroperasi di China.
"Jika ingin menyelenggarakan KTT, ya harus sesuaikan regulasi dan kebijakan," kata Wu. "Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Kami tidak mengemis demi KTT."
(bbn)





























