Bulan lalu, ARECOMS menyampaikan bahwa penambang hanya akan diizinkan mengekspor sedikit di atas 18.000 ton kobalt hingga akhir tahun ini, serta maksimal 96.600 ton masing-masing pada 2026 dan 2027. Volume tersebut kurang dari separuh total produksi Kongo tahun lalu.
Dalam pernyataannya, ARECOMS merinci alokasi kuota ekspor bagi setiap perusahaan, dan menyebutkan bahwa volume yang diizinkan pada Desember akan otomatis menjadi alokasi bulanan untuk tahun berikutnya.
CMOC, yang memperoleh lebih dari sepertiga kuota ekspor untuk sisa 2025, diperkirakan dapat mengekspor sekitar 31.200 ton pada 2026, setara dengan 27% dari total produksi tambangnya di Kongo tahun lalu.
Pada 2024, CMOC menghasilkan lebih dari 40% pasokan kobalt dunia. Meski menghadapi pembatasan ekspor, produksi perusahaan tersebut justru sedikit meningkat pada paruh pertama tahun ini.
Para penambang dilaporkan menimbun kobalt sambil tetap mengekspor tembaga, dua logam yang ditambang bersamaan di Kongo.
Produsen terbesar kedua dan ketiga, Glencore Plc dan Eurasian Resources Group Sarl, masing-masing memperoleh 22% dan 12% dari total kuota ekspor yang dialokasikan untuk dua setengah bulan terakhir tahun ini.
Larangan ekspor pertama kali diumumkan pada 22 Februari, lalu diperpanjang pada Juni selama tiga bulan, sebelum akhirnya digantikan dengan kebijakan kuota pada September.
Saat larangan diberlakukan, harga acuan kobalt sempat anjlok di bawah US$10 per pon, level terendah dalam 21 tahun, menurut data Fastmarkets.
Namun sejak itu harga kobalt telah berlipat ganda, sementara harga kobalt hidroksida, produk utama ekspor Kongo, melonjak lebih dari tiga kali lipat.
ARECOMS sebelumnya menyatakan volume ekspor yang diizinkan dapat ditinjau setiap kuartal apabila terjadi ketidakseimbangan signifikan di pasar.
Dalam pernyataannya Sabtu, regulator itu juga menegaskan bahwa kuota dapat direvisi “berdasarkan kontribusi perusahaan terhadap pengembangan proyek strategis” di Kongo, terutama dalam pembangunan fasilitas pemrosesan kobalt bernilai tambah di dalam negeri.
Sejumlah analis menilai, volume kuota yang diumumkan bulan lalu berpotensi mengikis kelebihan pasokan di pasar jika diterapkan secara ketat.
“Jika benar-benar dijalankan sesuai aturan, kebijakan ini berpotensi menggeser pasar kobalt menuju defisit pada akhir 2026 atau paling lambat awal 2027,” tulis perusahaan perdagangan komoditas Darton Commodities dalam catatannya, 6 Oktober.
Selain kuota ekspor untuk 2026 dan 2027, sekitar 10% dari total volume ekspor juga akan disisihkan sebagai “kuota strategis” yang akan dikelola sepenuhnya atas kebijakan ARECOMS.
Regulator juga menegaskan bahwa seluruh perusahaan pemegang kuota wajib membayar di muka royalti kepada negara, sebesar 10% dari nilai penjualan, sebelum dapat melakukan pengiriman kobalt.
(bbn)

































