Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Noel) sebagai tersangka.
Selain Noel, KPK telah menetapkan 10 tersangka lainnya dalam perkara korupsi sertifikasi K3. Mereka adalah Dirjen Binwasnaker dan K3 pada Maret 2025-sekarang, Fahrurozi; Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021-Februari 2025, Hery Sutanto; Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3 tahun 2022-2025, Irvian Bobby Mahendro; Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022-sekarang, Gerry Aditya Herwanto Putra.
Selanjutnya, Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 tahun 2020-2025, Subhan; Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020-sekarang, Anitasari Kusumawati; Koordinator, Supriadi; Subkoordinator, Sekarsari Kartika Putri. Dua tersangka lainnya adalah dari pihak PT KEM Indonesia atas nama Temurila dan Miki Mahfud.
KPK sendiri sempat memberikan sinyal bahwa Noel tak hanya menerima uang dan barang dari perkara tersebut. Eks Ketua Umum Prabowo Mania tersebut diduga juga menerima uang dari praktik rasuah lain di Kemnaker.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi Asep Guntur Rahayu menduga Immanuel Ebenezer tak hanya menerima uang Rp3 miliar pada Desember 2024; dan satu unit motor Ducati pada April 2025. Keduanya merupakan pemberian dari praktek korupsi pemerasan pada pengurusan sertifikat K3.
Hal ini termasuk sebagai alasan penyidik KPK mengejar tiga mobil Immanuel Ebenezer yang sempat disembunyikan dan beberapa belum diserahkan. Ketiga mobil tersebut terdiri dari satu unit Toyota Land Cruiser, satu unit Mercedes-Benz, dan satu unit BAIC -- diduga berasal dari kasus korupsi selain pemerasan terhadap pengaju sertifikat K3.
“Namun, pada kenyataannya selain uang itu untuk merenovasi rumah. Sekarang kita juga menemukan ada mobil, ada segala macam. Secara garis besar sudah ada informasi dari yang bersangkutan bahwa memang ada dari yang lain [praktik korupsi lainnya],” ujar Asep dalam konferensi pers, dikutip Rabu (10/9/2025).
Sehingga, KPK dalam perkara ini menggunakan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP kepada para tersangka. Pasal tersebut dipersangkakan agar lembaga antirasuah bisa menelusuri gratifikasi dan penerimaan dari kasus lain.
“Artinya penerimaan yang tidak sesuai dengan undang-undang, yang tidak seharusnya diterima. Gratifikasi yang tidak dilaporkan kemudian diterima oleh pejabat negara tersebut,” ujar dia.
(ain)





























