Kesenjangan pasokan uranium diperkirakan melebar hingga mencapai total 184 juta pon dalam dekade ini, setara dengan lebih dari tiga tahun konsumsi.
Tanpa adanya kontrak jangka panjang, laporan EIA menilai lebih banyak pembangkit mungkin perlu membuat kesepakatan jangka pendek untuk memastikan reaktor tetap beroperasi.
Sementara investor Silicon Valley menggelontorkan miliaran dolar untuk merancang reaktor nuklir baru, laporan EIA menegaskan kerentanan AS pada rantai pasok bahan bakar. Lebih dari 90% uranium yang dipakai reaktor AS tahun lalu masih bersumber dari luar negeri.
Rusia tetap menjadi pemasok utama bahan bakar reaktor nuklir AS tahun lalu, meski larangan impor uranium yang telah diperkaya dari negara tersebut mulai berlaku pada Mei.
“Kita sedang menuju ke arah, meskipun belum sampai, untuk sepenuhnya berhenti menggunakan uranium yang diperkaya Rusia,” kata Menteri Energi AS Wright kepada Bloomberg News bulan lalu, sembari menekankan perlunya membangun cadangan uranium domestik yang lebih besar.
Pada 2024, pemerintahan Joe Biden mengesahkan undang-undang yang mewajibkan pembangkit beralih dari pasokan Rusia paling lambat 2028.
Enam bulan kemudian, Rusia membalas dengan membatasi ekspor uranium yang diperkaya ke AS secara sementara.
Gedung Putih kemudian mengeluarkan perintah eksekutif pada Mei untuk mempercepat penerapan reaktor canggih dan bahan bakarnya.
Laporan EIA tahun ini, yang memantau arus masuk dan keluar pengiriman uranium global ke AS, sempat tertunda akibat pemangkasan besar-besaran staf yang diberlakukan di era pemerintahan Trump.
Unit independen di bawah Departemen Energi itu kehilangan lebih dari 100 pegawai dari sekitar 350 orang, seiring program efisiensi birokrasi yang sebelumnya dipimpin Elon Musk.
(bbn)


































