Lebih jauh, potensi ditekannya ekspor CPO tersebut membuka potensi dana insentif yang sebelumnya berasal dari PE CPO dialihkan menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Jika hal tersebut terjadi, Akhmad memprediksi akan timbul tekanan baru terhadap anggaran negara, terutama jika harga minyak dunia sedang tinggi.
“Alternatif lain adalah pemerintah menyesuaikan formula pungutan [tarif progresiif] agar tetap ada ruang fiskal, meski ekspor ditekan,” usulnya.
Selain itu, menekan ekspor CPO diprediksi Akhmad memicu protes dari mitra dagang utama Indonesia yakni India, Uni Eropa, dan China.
Walhasil, kata dia, Indonesia berpotensi digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atau justru memengaruhi neraca dagang Indonesia.
“Harga global CPO juga bisa terdorong naik karena suplai terbatas, yang ironisnya bisa menimbulkan backlash di perdagangan internasional,” pungkas dia.
Untuk biodiesel tahun ini, Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menyatakan alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) demi pembiayaan produksi B40 saja resmi ditambah Rp16,8 triliun.
Eniya menegaskan tak terdapat dana tambahan yang disetorkan pemerintah ke BPDPKS. Menurutnya, Kementerian ESDM hanya meminta tambahan alokasi penggunaan anggaran BPDPKS untuk pelaksanaan B40 sejumlah Rp16,8 triliun untuk tahun ini.
“Rp16,8 triliun untuk digunakan sampai dengan Desember, dan memastikan keberlanjutan B40,” kata Eniya melalui pesan singkat kepada Bloomberg Technoz, Selasa (12/8/2025).
Eniya mengelaborasi kebutuhan biaya produksi biodiesel saat ini makin meningkat seiring dengan tahapan pengembangan yang telah mencapai B40 dan akan segera ditingkatkan mandatori ke level B50.
Selain karena disparitas antara harga solar dan CPO yang makin lebar, dia mengatakan kenaikan PE CPO menjadi sebesar 10% juga berdampak pada turunnya setoran dana PE kepada BPDPKS yang digunakan untuk membiayai produksi biodiesel.
Sekadar catatan, pendanaan biodiesel untuk program B40 pada tahun ini diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, naik dari realisasi sepanjang 2023 senilai Rp26,23 triliun untuk menyokong program B35.
Alokasi ‘subsidi’ biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen PSO sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Berdasarkan laporan BMI, lengan riset Fitch Solutions bagian dari Fitch Group, Indonesia dinilai perlu menekan ekspor CPO demi menjaga pasokan biodiesel di dalam negeri, seiring dengan peningkatan kewajiban bauran FAME yang sudah naik ke B40 pada 2025, dan potensi penerapan B50.
BMI menjelaskan, untuk menopang B40 pada 2025 saja, Indonesia membutuhkan sekitar 15,4 juta kilo kl biodiesel. Volume itu setara dengan 14,1—14,2 juta ton CPO, naik hanpir 2 juta ton dari tahun lalu.
Dengan proyeksi produksi sawit mencapai 47,5 juta ton pada musim 2025/2026, konsumsi domestik diperkirakan menyerap hampir setengah produksi total.
Selain itu, target pemerintah untuk menaikkan campuran biodiesel ke B50 pada 2026 dinilai penuh tantangan. Apalagi, kebutuhan biodiesel untuk B50 diperkirakan mencapai 20,5 juta kl. Dari sisi bahan baku, B50 akan membutuhkan 18,8 juta ton CPO, atau tambahan lebih dari 5,5 juta ton dari 2024.
Meskipun pasokan sawit Indonesia secara teori mencukupi, pencapaian B50 akan menuntut pengurangan ekspor dalam jumlah besar. Kondisi ini, menurut BMI, akan memerlukan intervensi pemerintah yang signifikan untuk memprioritaskan pasokan biodiesel domestik dibandingkan dengan ekspor.
(azr/wdh)
































