Dia menjelaskan langkah ini sebenarnya patut diapresiasi karena memberikan fokus yang lebih jelas dalam menggenjot penerimaan negara. Selama ini, fungsi penerimaan terfragmentasi di berbagai direktorat, sehingga menyebabkan koordinasi yang kerap tersendat. Jika BPN berhasil memadukan Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, dan pungutan lainnya dalam satu sistem yang terintegrasi, efisiensi bisa meningkat drastis.
Kebocoran dapat ditekan, kepatuhan pajak naik, dan ruang fiskal pemerintah untuk membiayai pembangunan semakin luas. Target kuantitatif 23% terhadap PDB juga memberi tolok ukur konkret yang memudahkan publik untuk mengevaluasi kinerja pemerintah.
Namun, ambisi ini datang dengan risiko yang tidak kecil. Pertama, pembentukan badan baru berarti harus ada pergeseran kewenangan yang signifikan dari instansi yang ada. Resistensi birokrasi hampir pasti muncul. Pegawai, data, dan sistem yang sudah berjalan harus diintegrasikan, dan tanpa strategi transisi yang hati-hati, kinerja penerimaan bisa justru terganggu.
Kedua, terdapat keraguan terkait keadilan fiskal. Upaya mengejar rasio penerimaan yang tinggi berisiko menambah beban pajak bagi kelompok yang sudah patuh, atau menekan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan sektor informal yang belum sepenuhnya siap. Pendekatan represif tanpa diimbangi edukasi dan insentif hanya akan memperdalam ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Ketiga, persoalan koordinasi pusat-daerah tidak boleh diabaikan. Banyak jenis pajak dan retribusi berada di kewenangan daerah. Jika BPN dibentuk tanpa memperhitungkan porsi penerimaan daerah, akan muncul konflik kewenangan dan kebingungan di lapangan.
Pada akhirnya, transparansi harus menjadi pondasi dari seluruh upaya pembentukan BPN. Badan ini tidak boleh hanya menjadi entitas baru dengan papan nama berbeda, tetapi harus membawa perubahan dalam cara negara mengelola dan mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang masuk.
Mekanisme akuntabilitas yang ketat wajib dibangun sejak awal. Ini mulai dari publikasi kinerja yang rutin dan mudah diakses publik, audit independen yang hasilnya diumumkan secara terbuka, hingga penyediaan saluran partisipasi publik yang memungkinkan masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha memberikan masukan.
"Tanpa arsitektur transparansi dan akuntabilitas yang jelas dan terbukti, pembentukan BPN hanya akan menciptakan birokrasi tambahan yang berisiko memperlebar jarak antara negara dan warganya serta membuka celah baru bagi penyalahgunaan kewenangan," tutur dia.
Membentuk BPN memang keputusan strategis, tetapi ia bukan solusi instan. Keberhasilan badan ini akan sangat ditentukan oleh desain kelembagaan yang jelas, proses transisi yang mulus, dan perumusan kebijakan yang sensitif terhadap keadilan sosial.
Pemerintah harus memastikan bahwa upaya meningkatkan penerimaan negara tidak menjadi beban berlebih bagi kelompok yang sudah patuh atau mengorbankan kelompok rentan demi mengejar target rasio PDB. Sebaliknya, BPN harus menjadi motor untuk memperluas basis pajak dengan cara yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
(lav)





























