Sementara target support terdekat adalah Rp 16.500/US$. Jika tertembus, maka Rp 16.550/US$ bisa menjadi target berikutnya.
Target paling pesimistis adalah Rp 16.580/US$.
Sentimen Positif Bagi Rupiah
Hawa penguatan rupiah sudah terasa sebelum pasar spot dibuka. Sebab, rupiah pun berjaya di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF).
Untuk tenor 1 bulan, rupiah diperdagangkan di Rp 16.458/US$ di pasar NDF. Lebih kuat ketimbang penutupan perdagangan pasar spot kemarin.
Rupiah juga mendapat angin segar dari melandainya dolar AS. Setelah naik dua hari beruntun, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) mulai melemah pagi ini.
Pada pukul 07:35 WIB, Dollar Index turun tipis 0,03% ke 97,826.
Amukan dolar AS mereda setelah rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam. Malam tadi waktu Indonesia, US Bureau of Labor Statistics melaporkan data inflasi di tingkat produsen.
Untuk periode Agustus, inflasi produsen tercatat 0,1% secara bulanan (month-to-month/mtm). Jauh melambat ketimbang Juli yang sebesar 0,7% mtm dan juga di bawah ekspektasi pasar dengan perkiraan 0,3% mtm.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi produsen di Negeri Adikuasa adalah 2,6% pada Agustus. Melambat dibandingkan Juli yang sebesar 3,1% yoy dan konsensus pasar dengan perkiraan 3,3% yoy.
Ini menjadi perlambatan inflasi perdana dalam empat bulan terakhir. Ditambah dengan perlambatan di pasar tenaga kerja, maka menjadi tidak ada alasan bagi bank sentral Federal Reserve untuk menggelontorkan stimulus moneter dengan penurunan suku bunga acuan.
Mengutip CME FedWatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4-4.25% dalam rapat September adalah 92%. Sedangkan peluang pemotongan 50 bps ke 3,75-4% adalah 8%.
“Investor mencerna perlambatan pasar tenaga kerja dan data inflasi produsen, sehingga mungkin ada penurunan suku bunga acuan sampai 50 bps pekan depan. Kami masih memperkirakan penurunan 25 bps. Untuk menuju penurunan 50 bps, maka data inflasi konsumen harus benar-benar lesu,” tulis riset Ian Lyngen dan Vail Hartman dari BMO Capital Markets, seperti dikutip dari Bloomberg News.
Saat suku bunga turun, maka berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan menjadi kurang menarik. Tekanan jual pun mulai melanda dolar AS, sehingga penguatannya tertahan.
(aji)






























