"Saya tidak menentang hal itu akan efektif," kata Whitaker, menambahkan bahwa terakhir kali Beijing dan Washington terlibat dalam perang tarif saling balas, berujung pada tarif sebesar 145% pada kedua belah pihak.
"Itu bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan situasi, baik dalam perdagangan dengan China maupun perang Rusia dan Ukraina," imbuhnya, merujuk pada kompleksitas penggunaan leverage ekonomi semacam itu.
Whitaker mengatakan, meski "telah mengubah perhitungan mereka" tentang pembelian energi Rusia, tarif terhadap India "mungkin tidak akan mempererat hubungan perdagangan dengan India."
Dengan China, Dubes itu tetap menekankan bahwa Trump "tentu tahu dia memiliki kartu untuk dimainkan" dan bisa memberlakukan tarif jika dia menganggapnya perlu. Bulan lalu, Trump memperpanjang gencatan perang dagang dengan China selama 90 hari, selagi kedua pihak membahas peluang pertemuan para pemimpinnya.
Komentar tersebut menyoroti bagaimana tujuan Trump untuk menyelesaikan ketidakseimbangan perdagangan dengan AS dapat membatasi pilihannya dalam mengakhiri perang Rusia.
Prancis dan Jerman kini juga mendesak penerapan sanksi sekunder karena para pemimpin mereka kehilangan kesabaran atas ketidakmauan Trump untuk secara terbuka menghadapi Presiden Rusia Vladimir Putin atas perangnya di Ukraina.
Presiden Prancis Emmanuel Macron akan menjadi tuan rumah pertemuan tatap muka pada Kamis (4/9/2025) dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dan beberapa sekutu utama negara itu, termasuk beberapa pemimpin yang bergabung secara virtual. Belum jelas apakah Trump akan ikut serta.
Batas waktu dua pekan terakhir yang diberikan Trump hampir habis tanpa kemajuan yang jelas menuju kesepakatan damai.
Trump memuji pertemuannya dengan Putin di Alaska pada Agustus. Namun, kemajuan tersebut tampaknya segera terhenti karena para pejabat Rusia menolak gagasan jaminan keamanan yang kuat bagi Ukraina dan tidak berkomitmen untuk bertemu dengan Zelenskiy.
(bbn)



























