Kemudian secara sosiologis, perkembangan teknologi dan dinamika perubahan kebijakan di Arab Saudi mengharuskan adanya penyesuaian kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia.
"Penting dilakukan, agar Indonesia mampu merespons setiap perubahan kebijakan dan tanggap dalam memenuhi kebutuhan pelayanan jamaah haji dan umrah, termasuk dalam pengelolaan keuangan haji dan umrah," jelasnya.
Lalu secara yuridis, UU Nomor 8 Tahun 2019 dan UU Nomor 34 Tahun 2014 penting direvisi karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan dinamika penyelenggaraan haji di masa sekarang ini.
"Sudah tidak relevan dengan dinamika penyelenggaran haji, utamanya dengan lahirnya lembaga haji yang baru Badan Penyelenggaraan Haji atau BP Haji atau yang nnti akan berubah menjadi Kementerian Haji," sebutnya.
Ia menekankan, bahwa perubahan itu diharapkab agar kelembagaan menjadi lebih kuat dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Selain itu, nantinya undang-undang yang baru dapat mengatur penyelenggaraan haji dan umrah secara profesional sejak dari pendaftaran, pelaksanaan, pelaporan hingga pengawasan.
"Perubahan undang-undang akan membedakan secara tegas siapa yang bertindak, siapa yang sebagai regulator atau siapa yang membentuk kebijakan, siapa yang mengelola haji dan siapa yang bertindak sebagai pengawas," pungkasnya.
Rencananya, revisi UU haji dan umrah ini akan rampung pada Agustus 2025 ini. Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal berharap revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dapat segera diselesaikan pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026.
(ell)
































