Singgih menjelaskan, dalam Undang-Undang No. 2/2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), tambang dengan IPR milik perseorangan dibatasi luasnya seluas 5 hektare (ha) dan bagi koperasi dibatasi 10 ha.
IPR tersebut dapat diberikan selama 10 tahun dan diperpanjang selama 5 tahun.
Singgih mengalkulasikan, jika terdapat 1.063 tambang ilegal yang akan dilegalkan, jumlah IPR yang perlu diterbitkan bakal membeludak dan berpotensi sulit dikendalikan oleh pemerintah.
“Menjadi relatif tidak masalah jika melegalkan IPR sebatas pada [tambang] Galian C, tetapi jika itu dilakukan untuk [tambang] mineral dan batu bara, yang terkait dengan kebijakan hilirisasi dan energi, menurut saya tidak tepat,” ungkap Singgih.
Jika kebijakan legalisasi tambang tersebut diterapkan pada sektor batu bara, misalnya, aspek pemeliharaan lingkungan usai aktivitas pertambangan dilakukan bakal menjadi sulit.
Apalagi, terang Singgih, kondisi lapisan batu bara (seam) di banyak wilayah memiliki kemiringan yang cukup tajam sehingga menyulitkan proses penambangan sekaligus reklamasi pascatambang.
Ketentuan kedalaman maksimal tambang sedalam 25 meter dalam regulasi IPR juga dinilai sulit dipatuhi, mengingat karakteristik geologi batu bara sering kali membuat penambangan perlu lebih dalam.
Cederai Hilirisasi
Lebih lanjut, Singgih juga menilai rencana tersebut akan mencederai kebijakan hilirisasi mineral mentah Indonesia. Persoalannya, kapasitas tambang IPR perorangan maupun koperasi akan sulit dimanfaatkan untuk program hilirisasi.
“Jadi mempertimbangkan alasan teknis, lingkungan termasuk persyaratan nilai tambah dan pengendalian produksi batu bara, menurut saya, melegalkan 1.063 menjadi IPR tidak tepat. Akan tetapi, bisa jadi masih dapat dilakukan untuk jenis golongan C, seperti batuan misalnya,” terangnya.
Pada kesempatan terpisah, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan kementeriannya tengah mengidentifikasi sejumlah pertambangan ilegal yang saat ini dikerjakan masyarakat.
Yuliot menyebut pemerintah memiliki perhatian untuk mendorong sejumlah pertambangan ilegal itu untuk bisa beroperasi lewat skema IPR.
“Untuk tambang ilegal ini kita lihat apakah dia ini tambang rakyat punya perizinan enggak, ini kita tetapkan wilayah pertambangan rakyatnya [WPR], kemudian kita berikan legalitas,” kata Yuliot saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Adapun, Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraannya pekan lalu menegaskan pemerintah bakal memberi ruang bagi masyarakat untuk bisa melakukan penambangan secara legal lewat bentuk koperasi.
Menurut Prabowo, akses itu bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
“Kalau rakyat yang nambang ya sudah kita bikin koperasi kita legalkan, tetapi jangan alasan rakyat tahu-tahu nyelundup ratusan triliun,” kata Prabowo dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Tahunan MPR 2025, Jumat (15/8/2025).
Di sisi lain, Prabowo menegaskan bakal memberantas praktik pertambangan ilegal yang ditudingnya merugikan negara senilai lebih dari Rp300 triliun, yang berasal dari sekitar 1.063 tambang ilegal.
Sekadar catatan, Kementerian ESDM sempat melaporkan bahwa jumlah WPR yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 lokasi dengan total luas wilayah mencapai 66.593,18 ha per awal 2024.
Hanya saja, IPR yang telah diterbitkan Kementerian ESDM saat itu baru mencapai 82 WPR dengan luas mencapai 62,31 ha.
(azr/wdh)
































