Logo Bloomberg Technoz

Rizal memandang alokasi kuota BBM untuk 2026 cenderung ketat. Apalagi, tekanan bisa datang jika pertumbuhan permintaan solar industri dan sektor transportasi lebih cepat dari yang diprediksi. Misalnya, akibat pemulihan sektor logistik hingga kenaikan aktivitas manufaktur.

Kelebihan Kuota

Becermin dari tahun-tahun sebelumnya, Rizal menilai jika kuota yang ditetapkan terlalu rendah, terdapat risiko over quota pada akhir tahun yang akan memaksa pemerintah melakukan penambahan anggaran subsidi atau kompensasi.

Untuk itu, dia mendorong pemerintah mengantisipasi risiko tersebut dengan beberapa langkah a.l. pengendalian konsumsi, digitalisasi distribusi, dan penyesuaian subsidi yang lebih fleksibel.

“Tantangan utama yang perlu diwaspadai pemerintah tahun depan adalah terjadinya fluktuasi harga minyak global akibat ketegangan geopolitik, depresiasi rupiah yang mengerek biaya impor minyak, dan potensi kebocoran distribusi BBM subsidi ke segmen non-sasaran,” tegas dia.

Dihubungi secara terpisah, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet memprediksi subsidi BBM dalam APBN 2026 dipatok sekitar Rp140 triliun—Rp160 triliun.

Angka tersebut dihitung mengacu pada asumsi volume solar dan minyak tanah yang dipatok sebesar 19,05—19,28 juta kl, dengan perincian subsidi solar Rp1.000/liter atau sekitar Rp18,53—Rp18,74 triliun dan minyak tanah Rp8.000–Rp10.000/liter atau sekitar Rp4,16—Rp5,4 triliun.

Sementara itu, kompensasi untuk Pertalite diprediksi sekitar Rp4.000—5.000/liter dan dialokasikan untuk 31,23—31,32 juta kl atau sekitar Rp124,92—Rp156,6 triliun.

Sementara itu, konsumsi BBM bersubsidi diprediksi sedikit meningkat sekitar 2%—5% seiring tumbuhnya ekonomi domestik. Akan tetapi, jika realisasi konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota, anggaran sebesar Rp140—Rp160 triliun dapat membengkak hingga 15%.

“Faktor eksternal seperti harga minyak dunia juga sangat berpengaruh. Jika harga naik di atas US$80/barel, subsidi dapat bertambah Rp20—Rp30 triliun, sedangkan jika turun ke US$60/barel, beban subsidi juga bisa berkurang,” kata Yusuf.

“Kurs rupiah dan inflasi juga menjadi penentu besar kecilnya subsidi,” tegas dia.

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2026, akumulasi subsidi energi tahun depan dipagu senilai Rp210,06 triliun.

Besaran tersebut terdiri atas subsidi untuk Jenis BBM Tertentu (JBT) Solar dan LPG 3 Kg sebesar Rp105,41 triliun, serta listrik Rp104,64 triliun.

Dalam RAPBN 2026, menurut buku nota tersebut, masih akan dialokasikan belanja subsidi LPG 3 Kg dan subsidi listrik rumah tangga berbasis komoditas seperti tahun-tahun sebelumnya.

Rencana kebijakan transformasi subsidi energi akan dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.

(wdh)

No more pages