LMK adalah badan hukum nirlaba yang diberi wewenang oleh pencipta untuk mengelola royalti. Sementara LMKN merupakan lembaga pemerintah non-APBN yang memiliki kewenangan serupa secara nasional, termasuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti—dengan atau tanpa status keanggotaan LMK—sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta dan Pasal 12 PP 56/2021.
Setelah pendataan dan pembayaran, royalti disalurkan kembali ke pencipta atau pemegang hak terkait melalui mekanisme distribusi yang transparan, acuan praktik keadilan, serta dikontrol oleh LMKN.
Penegasan sistem ini disampaikan oleh pihak Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI); menurut Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021, pelaku usaha seperti penyanyi, penyelenggara konser, atau pemilik kafe cukup membayar royalti sekali saja melalui LMKN—setelah itu, mereka tidak lagi perlu mendapat izin langsung dari pencipta untuk pertunjukan musik di acara publik.
Jika terjadi sengketa dalam pembayaran atau distribusi royalti, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur mediasi sesuai Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta—mendorong penyelesaian yang adil tanpa perlu langsung ke ranah litigasi.
Secara keseluruhan, alur royalti yang berlaku di Indonesia menekankan efisiensi dan kepastian hukum. Penyanyi atau penyelenggara cukup membayar royalti melalui LMKN, yang kemudian berkewajiban mengurus distribusi ke pencipta dan pemegang hak terkait. Sistem ini juga memastikan bahwa pencipta tidak dibebani dengan mengejar pembayaran royalti sendiri—semua dilakukan melalui struktur kolektif resmi.
(fik/spt)































