"Makanya kita sedang menyampaikan surat ke USTR [United States Trade Representative/kantor perwakilan dagang AS]. Pemberlakuannya bagaimana? Karena kalau di negara mitra dagangnya Amerika seperti itu," tutur dia.
"Berarti kan harus ada regulasinya. Sementara di kita kan belum ada. Harusnya waktu itu kita melakukan penandatangan perjanjian dagang dulu untuk menjadi dasar membuat aturan di sini."
Dalam kesempatan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemberlakukan tarif 0% kepada produk Negeri Paman Sam tersebut hingga kini "masih dalam pembahasan."
Pembahasan tersebut juga termasuk permintaan sejumlah permintaan komoditas Indonesia agar dikecualikan kena tarif 19%, yang meliputi biji kakao, karet, furnitur, hingga minyak kelapa sawit (CPO) beserta produk turunannya yang belum diproduksi di AS.
Di sisi lain, Menteri Perdagangan Budi Santoso juga mengatakan pemerintah masih akan terus melakukan negosiasi lanjutan untuk mendapatkan tarif lebih rendah dari 19%, yang juga diperkirakan akan rampung sebelumnya 1 September mendatang.
"Mudah-mudahan sebelum 1 September sudah selesai, kan masih banyak yang akan kita usahakan untuk lebih bagus. Contohnya yang tadi, yang barang-barang yang tidak diproduksi AS,” ucapnya.
Sejatinya, Kementerian Keuangan sendiri juga telah memiliki regulasi yang mengatur soal penetapan barang ekspor dari sejumlah komoditas yang dikenakan bea keluar, termasuk tarif bea masuknya.
Aturan tersebut secara lengkap tertuang dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) dalam PMK Nomor 26/2022, yang kemudian mendapat pembaruan sebagian pada PMK 10/2024.
Beleid tersebut memerinci sistem klasifikasi barang yang berlaku di Indonesia. BTKI disusun berdasarkan Harmonized System (HS) dan ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN).
(ain)





























