Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pemerintah seharusnya mengalokasikan 92% atau 18.400 dari tambahan kuota itu untuk haji umum dan 8% atau 1.600 untuk haji khusus.
Namun, berdasarkan dugaan awal, realisasinya justru tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Sebab, tambahan kuota itu justru dibagi rata, yakni masing-masing 50% atau 10.000 untuk haji umum dan khusus. Padahal, terdapat antrean yang panjang untuk haji umum saat itu.
“Otomatis 10.000 kalau dikalikan dengan biaya haji khusus, itu akan lebih besar pendapatannya. Uang yang terkumpul di haji khusus akan menjadi lebih besar. Dari situlah dimulainya perkara ini,” ujarnya.
Terlebih, dalam prosesnya, kuota itu dibagikan kepada agen perjalanan (travel agent) melalui asosiasi. Maka, KPK meminta keterangan secara bertahap, dimulai dari agen perjalanan untuk membuktikan dugaan awal bahwa kuota haji tidak dibagikan sesuai dengan peraturan yang ada.
“Misalkan pada 2024 travel A dapat berapa ya, tambahan haji khususnya? 10 misalkan, travel B berapa, sehingga genaplah 10.000 kuota. Ini variasi di harganya, setiap travel berbeda juga,” ujarnya.
“Kemudian nanti kita sedang mendalami ada aliran dana dan lain-lain ke sananya. Jadi tidak gratis untuk mendapatkan kuota haji tambahan itu, untuk yang kuota khusus.”
Selanjutnya KPK membutuhkan keterangan dari Yaqut sebagai pucuk pimpinan di Kementerian Agama kala itu untuk menjelaskan apakah terdapat diskresi yang pada akhirnya menyebabkan kuota haji umum dan khusus masing-masing dibagi rata 50% dan tidak mengikuti aturan.
“Jadi ini kesempatan yang bersangkutan untuk menjelaskan seperti apa sebenarnya proses tersebut, dari kuota tambahan haji,” ujarnya.
Sebelumnya, polemik penetapan kuota haji juga sempat menjadi isu panas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga legislatif tersebut bahkan sampai membentuk panitia khusus hak angket untuk memeriksa penetapan kuota haji pada 2024. Pansus bergulir dengan memeriksa sejumlah saksi dan pejabat Kemenag; namun Menteri Yaqut tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan.
Pansus ini berakhir antiklimaks karena masa jabatan DPR 2019-2024 berakhir. Selain itu, prosesnya juga terkendala peta politik saat Pemilu 2024. Meski demikian, pansus memang memberi isyarat hasil pemeriksaannya bisa digunakan aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan korupsi pada kebijakan penetapan kuota haji.
(ain)

































