"Misalnya tidak menghitung itu dalam satu tahun, misal 300 hari ada bulan puasa, ada tempat kosong, itu satu kursi ada 120 untuk satu tahun, satu hari satu kursi itu ada berapa ya? Itu murah sekali. Itu pun kita okupansi tingkatkan 70% bukan 100%,"ujarnya.
"Lalu kita juga melihat perluasan tempat,"tambahnya.
Dharma menekankan bahwa pihaknya tak ingin memiliki hubungan tak baik kepada para pengusaha akibat aturan pembayaran royalti musik ini. Dia menegaskan tarif royalti di Indonesia sendiri terbilang rendah ketimbang negara-negara lain.
"Kenapa dia bisa beli kopi dan peralatan, tapi bayar royalti dia nggak mau, kan ada kesadaran harusnya, kasihan dong pencipta lagu, musik paling tersusahkan. Padahal kita harus membangun ekonomi kreatif berbasis dan nilai budaya, lalu kreator bikin musik nggak dihargai bagaimana itu mau menjadikan itu profesi dia?," katanya.
"Jadi jangan takut dulu, cari tahu deh, bayar royalti sebesar apa? Disarankan buka website LMKN dapat info disitu tarif dan lainnya," tambahnya.
Diberitakan belum lama ini, pemerintah memberlakukan setiap usaha dan juga kepada usaha non-musik agar membayar royalti karena memutar musik di ruang publik.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko menjelaskan bahwa langganan pribadi layanan streaming tersebut tak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” jelas di Kantor DJKI, Jakarta Selatan, melalui keterangan tertullis, dikutip Selasa (29/07/2025).
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik bahwa pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
(dec/spt)






























