Dengan begitu, dia mewanti-wanti agar pemerintah tidak salah mengalkulasikan besaran nilai proyek kilang 1 juta barel tersebut, sebab berpotensi membuat biaya pembangunan bengkak atau cost overrun.
“Jadi kita istilahnya berbagi resiko. Berbagi resiko, berbagi kapital. Jadi jangan nanti meminjam uangnya dari Amerika, beli teknologi dari Amerika, beli minyak mentahnya dari Amerika. Semua diuntungkan Amerika, semua risiko ada di kita,” tegas dia.
Bukan Pinjaman
Terkait dengan investasi, Moshe menegaskan jika pihak AS hanya meminjamkan dana ke Indonesia untuk pembangunan kilang, hal tersebut tak dapat dikatakan sebagai investasi.
Menurutnya, pihak AS harus ikut menggarap dan menanamkan modalnya dalam proyek tersebut dan tak sekedar meminjamkan dana.
Jika investasi yang dilakukan pihak AS hanya dalam bentuk meminjamkan dana, lanjut Moshe, seluruh risiko yang timbul dari proyek tersebut hanya ditanggung pemerintah dan akhirnya berpotensi merugikan negara.
“Kalau pinjaman, ya dia [AS] diuntungkan karena setiap pinjaman itu ada kolateral. Pinjaman itu tidak mau ambil risiko. Itu masih pinjaman namanya. Jadi yang saya sarankan adalah Danantara harus cari partner investor, bukan pinjaman saja,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengonfirmasi proyek 17 kilang modular senilai US$8 miliar (sekitar Rp131,04 triliun), yang melibatkan Danantara dengan menggandeng AS, memang disiapkan untuk menyokong proyek kilang berkapasitas 1 juta barel.
Bahlil menegaskan proyek, yang dikabarkan melibatkan KBR Inc. (sebelumnya Kellogg Brown & Root), tersebut digagas usai Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi mengkaji kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan produk turunannya di Indonesia.
Dalam kajian itu, Satgas Hilirisasi merekomendasikan agar Indonesia membangun kilang baru untuk mencukupi kebutuhan BBM di Tanah Air. Apalagi, kilang eksisting di Indonesia baru bisa memasok sekitar 30%—40% dari total kebutuhan BBM Indonesia.
“Oh Danantara itu. Itu hasil daripada Satgas Hilirisasi. Salah satu yang kita kaji kita harus punya refinery, karena refinery kurang lebih sekitar 30%—40% dari total kebutuhan kita, selebihnya kita impor. Kemudian kita bilang kita harus membangun refinery baru,” kata Bahlil kepada awak media di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (29/7/2025).
“Iya, iya,” tegasnya saat diminta konfirmasi apakah 17 kilang modular tersebut sama dengan proyek kilang 1 juta barel di 18 lokasi yang memang sedang direncanakan pemerintah.
Di lain sisi, CEO BPI Danantra Rosan Perkasa Roeslani mengonfirmasi 17 kilang modular yang akan dibangun direncanakan untuk mengolah minyak mentah yang akan diimpor dari Negeri Paman Sam.
Terlebih, sebelumnya pemerintah berkomitmen mengimpor minyak mentah, gas minyak cair atau liquified petroleum gas (LPG), hingga bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin senilai total US$15 miliar dalam kesepakatan tarif dengan Presiden AS Donald Trump.
“Karena kalau kita lihat salah satu di dalam kesepakatan itu kan kita akan melakukan impor dari crude oil ke Indonesia, yang tentunya kan itu perlu ada refinery.”
Adapun, Kementerian ESDM belum lama ini menyampaikan paparan Penyerahan Dokumen Pra Studi Kelayakan Proyek Prioritas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional kepada BPI Danantara yang salah satunya mencakup rencana proyek kilang dan storage minyak berkapasitas 1 juta barel; sebuah proyek yang memang telah lama direncanakan pemerintah.
Untuk proyek kilang, investasinya ditaksir mencapai Rp160 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 44.000 orang. Sementara itu, proyek tanki penyimpanan minyak ditaksir mencapai Rp72 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 6.960 orang.
Menurut paparan Menteri ESDM, kedua proyek tersebut—baik kilang maupun storage — disebar ke 18 lokasi di Indonesia.
Lokasi-lokasi tersebut a.l. Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, Semarang, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung (Bali), Bima, Ende, Makassar, Dongala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara, dan Fakfak.
(azr/wdh)































