Tarif baru ini diumumkan bersamaan dengan pernyataan Trump bahwa AS akan mempertahankan tarif minimum global sebesar 10%, lebih rendah dari ancaman sebelumnya yang menyebutkan tarif dasar bisa mencapai 15% atau lebih tinggi, menurut pernyataan Gedung Putih pada Kamis (31/7).
Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick pada Rabu malam mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa AS telah mencapai kesepakatan dengan Thailand dan Kamboja, namun tidak merinci isi perjanjian tersebut. Beberapa hari terakhir, AS gencar menjalin kesepakatan dan menuntut tarif baru dari para mitra dagangnya, termasuk perjanjian dengan Korea Selatan yang menetapkan tarif 15% untuk ekspor mereka ke AS, serta rencana penerapan tarif 25% terhadap barang-barang dari India.
Dalam upaya terakhir untuk menghindari tarif yang lebih tinggi, Thailand menawarkan akses pasar yang lebih besar bagi produk-produk AS dengan berjanji menghapus tarif atas 90% barang impornya. Thailand juga berkomitmen untuk menerapkan langkah-langkah non-tarif guna memangkas surplus perdagangan senilai US$46 miliar hingga 70% dalam tiga tahun ke depan, termasuk menindak praktik pengalihan asal barang dari negara lain.
Sebelum pengumuman tarif ini, Menteri Keuangan Thailand Pichai Chunhavajira mengatakan bahwa ia memperkirakan tarif yang dikenakan AS akan sejalan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang rata-rata berada di kisaran 20%. Tahun lalu, AS merupakan pasar ekspor barang terbesar bagi Thailand, menyumbang sekitar 18% dari total pengiriman luar negeri negara tersebut.
Mendapatkan tarif rendah dari AS dinilai krusial untuk melindungi ekonomi Thailand yang sangat bergantung pada ekspor dari tekanan lanjutan. Pertumbuhan ekonomi negeri gajah putih itu saat ini sudah tertekan oleh tingkat utang rumah tangga tertinggi di Asia Tenggara dan konsumsi domestik yang lesu.
(bbn)




























