"Atas jasa penyediaan sarana elektronik, PPN dikenakan atas nilai lain sebesar 11/12 dari penggantian (komisi/imbalan), sedangkan jasa verifikasi oleh penambang dikenakan PPN dengan besaran tertentu dan PPh berdasarkan tarif umum," tegas dia.
Sebelumnya diinformasikan, aset kripto --yang sudah berubah status dari komoditas menjadi aset keuangan digital-- kini dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,21% dari transaksi yang bersifat final.
Perubahan status juga sekaligus mengubah ketentuan lain, yakni kripto kini tidak lagi menjadi objek langsung yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Saat ini, sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset kripto dikategorikan sebagai aset keuangan yang disamakan dengan surat berharga, sehingga tidak lagi dikenakan PPN,” ujar Bimo.
Bimo menjelaskan latar belakang penerbitan beleid ini adalah terjadinya perubahan status kripto dari semula sebagai komoditas menjadi aset keuangan digital. Perubahan terjadi sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Pada dasarnya, ketiga aturan itu mencakup penetapan status aset kripto, pemberian definisi baru aset kripto, Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD), dan penyelenggara bursa aset keuangan digital, termasuk aset kripto.
Selain itu, pengaturan ini juga mencakup jenis layanan atau transaksi yang berkaitan dengan aset kripto, seperti perdagangan aset kripto, penyediaan sarana elektronik, dan jasa verifikasi oleh penambang kripto.
“Pengaturan ini bertujuan menciptakan kepastian hukum dan konsistensi perlakuan pajak sejalan dengan karakteristik dan status baru aset kripto sebagai aset keuangan digital sesuai UU P2SK,” jelas Rosmauli.
(lav)

































