Mufti lantas merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 4, yang mengatur hak-hak konsumen, antara lain:
Pasal 4 huruf a: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
Pasal 4 huruf c: hak untuk memilih dan memperoleh barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Pasal 4 huruf d: hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pada Pasal 29 ayat (2) juga disebutkan bahwa bank wajib merahasiakan data nasabah dan memberikan layanan secara adil dan proporsional.
Di sisi lain, BPKN juga menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang serta lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Pemblokiran yang tidak melalui mekanisme peringatan, klarifikasi, atau konfirmasi kepada nasabah dianggap bertentangan dengan asas legalitas dan asas kehati-hatian (prudential principle) dalam sektor keuangan.
"Konsumen memiliki hak untuk diberitahu secara resmi dan diberi waktu yang cukup untuk mengaktifkan kembali rekening mereka. Tidak semua rekening yang tidak aktif adalah rekening mencurigakan. Banyak masyarakat yang menyimpan dana untuk kebutuhan jangka panjang atau tabungan darurat."
Sehubungan dengan hal tersebut, BPKN mendesak agar PPATK bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia meninjau ulang kebijakan pemblokiran tersebut, guna memastikan tidak adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen
"Kami meminta kebijakan ini ditangguhkan, atau bahkan dicabut, sampai ada mekanisme yang jelas, transparan, dan tidak merugikan konsumen," tegas Mufti.
BPKN juga akan mengirimkan nota keberatan resmi kepada PPATK dan mengajukan permintaan audiensi lintas otoritas untuk membahas dampak kebijakan ini secara komprehensif. Selain itu, BPKN menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai prosedur penonaktifan rekening yang adil, akuntabel, dan tidak menyalahi ketentuan perlindungan konsumen.
Sekadar catatan saja, PPATK mulai memberlakukan kebijakan pemblokiran sementara terhadap rekening yang dormant karena kerap disalahgunakan, antara lain untuk pencucian uang dan jual-beli rekening fiktif.
PPATK telah menyatakan menemukan sebanyak lebih dari 140.000 rekening berstatus dormant hingga lebih dari 10 tahun, dengan nilai Rp428,61 miliar tanpa ada pembaruan data nasabah.
Rekening dormant merupakan rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu. PPATK mengklaim memperoleh data rekening itu berdasarkan laporan dari perbankan.
"Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya, yang akan merugikan kepentingan masyarakat atau bahkan perekonomian Indonesia secara umum," demikian tertulis dalam keterangan pers PPATK, Rabu (30/7/2025).
Berdasarkan laporan tersebut, PPATK menegaskan adanya penghentian sementara transaksi pada rekening dormant. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepentingan pemilik sah rekening di perbankan serta integritas sistem keuangan nasional.
"Langkah ini bukan tanpa alasan. PPATK dalam proses analisis yang dilakukan sepanjang 5 tahun terakhir, menemukan maraknya penggunaan rekening dormant yang tanpa diketahui/disadari pemiliknya menjadi target kejahatan," papar PPATK dalam pernyataan tertulisnya.
(prc/spt)
































