Meski begitu, Marwan juga mendukung opsi penunjukan langsung agar semua operator mendapat kesempatan yang setara.
"Tapi kalau saya pribadi, memang lebih cenderung mendukung penunjukan langsung, dengan begitu semua operator bisa dapat bagian, dan persaingan jadi lebih setara. Soal harga mungkin harus dipertimbangkan affordability-nya karena regulatory cost-nya bisa tinggi banget," tutur dia.
ATSI kata Marwan bersama Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Penyelenggara Sistem Komunikasi Kabel Laut Seluruh Indonesia (ASKALSI), dan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL) telah menyampaikan surat kedua kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menindaklanjuti surat serupa yang pernah dikirim ke pemerintahan sebelumnya.
"Kita hanya ingin me-remain, me-remain bahwa industri ini membutuhkan industri ini adalah industri yang sudah menjadi industri pokok. Industri yang sudah dibutuhkan masyarakat. Kuotanya, internetnya, bahkan Presiden Prabowo kan juga menyampaikan ingin membuat dunia pendidikan digital. Otomatis membutuhkan industri yang sehat. Industri yang kuat," jelasnya.
Adapun salah satu isinya menekankan pentingnya menurunkan porsi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi yang saat ini mencapai 12,4%. "Harapannya di bawah 10% karena kan rekomendasi GSM-nya di bawah 10% sehat. Moderat lah. Kalau sehat banget di bawah 5%," tegas dia.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyoroti sulitnya membangun infrastruktur digital di pelosok tanpa dukungan pemerintah. Ia menekankan bahwa operator seluler tetaplah entitas bisnis yang membutuhkan insentif agar ekspansi ke wilayah non-komersial tetap feasible.
"Operator seluler bukan organisasi amal, mereka perlu keuntungan untuk bertahan. Tanpa dukungan pemerintah, seperti subsidi atau keringanan pajak, ekspansi ke wilayah pelosok bisa membebani keuangan mereka," kata Heru kepada Bloomberg Technoz pekan lalu.
"Pemerintah seharusnya berperan aktif, misalnya melalui skema Universal Service Obligation (USO) yang lebih konkret atau kemitraan publik-swasta. Tanpa insentif, harapan ini kurang realistis karena operator akan prioritaskan wilayah 'gemuk' dengan ROI lebih cepat. Kolaborasi yang seimbang antara pemerintah dan industri adalah kunci."
Heru mengatakan bahwa tanpa intervensi operator akan cenderung memprioritaskan wilayah padat pengguna yang menjanjikan pengembalian investasi lebih cepat. Padahal, ekspansi ke 3T juga penting secara strategis dan sosial.
"Operator besar mungkin masih mampu, tapi operator kecil bisa tertekan. Namun, ekspansi ini bisa meningkatkan citra merek dan loyalitas pelanggan jangka panjang. Tanpa dukungan pemerintah, seperti insentif atau pembagian biaya, operator riskan merugi karena fokus wilayah 3T [Tertinggal, Terdepan, dan Terluar] memang tidak menguntungkan secara bisnis," tegasnya.
Sebagai catatan, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengutarakan pihaknya menargetkan dilakukannya lelang pita frekuensi 1,4 GHz pada Juli 2025. Direktur Jendral (Dirjen) Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi Wayan Toni menyebut lelang ini dimungkinkan dilakukan dalam waktu dekat jika memang tidak ada kendala.
"As soon as possible ya, ini [lelang pita frekuensi 1,4 GHz] di bulan-bulan Juli mudah-mudahan, kalau enggak ada kendala," kata Wayan ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, dikutip Senin (7/7/2025).
Wayan klaim bahwa lelang frekuensi ini memungkinkan operator untuk membangun jaringan dengan biaya lebih rendah karena di sektor telekomunikasi harga ditentukan berdasarkan biaya (cost-based). Sehingga bila investasi murah, tarif untuk konsumen juga bisa murah.
"Jadi ini benar-benar dari BTS [Base Transceiver Station] masuk ke router di dalam, kemudian router masuk ke PC. Jadi digunakan untuk aktivitas fixed broadband. Bukan sampai di rumah digunakan untuk wifi seluler," jelasnya.
Di sisi lain, dia menegaskan Komdigi tidak mematok harga layanan internet, tetapi tetap mengimbau kepada opertor pemenang lelang memberikan tarif internet terjangkau dan memprioritaskan layanan di daerah yang belum terjangkau internet.
"[Lelang pita frekuensi] 1,4 [GHz] ini untuk penyelenggara di mana saja boleh, tapi kita menyasar sebaiknya dari daerah dulu [karena di kota sudah padat] semua sudah pakai FO [Fiber Optik]. Jadi silakan nanti pemain itu mencari bisnisnya kemana saja. Itu lebih bagus dari luar [daerah] dulu, baru masuk ke dalam [kota]," tutur Wayan.
(prc/wep)































