“(Penguatan) rupiah masih tertahan karena AS mengumumkan tarif yang mengecewakan. AS belum berkenan menurunkan tarif meski Indonesia menawarkan berbagai konsesi sehingga memberi tekanan terhadap rupiah,” sebut Henderson dalam risetnya.
Terlebih, lanjut Henderson, BI sudah memangkas suku bunga acuan 2 kali tahun ini yaitu pada Januari dan Mei. Jika pemotongan berikutnya terjadi terlalu cepat, maka itu bisa mempengaruhi sentimen di pasar, terutama di mata investor asing.
BI Rate Bisa Turun
Namun suara pasar tidak bulat. Bahkan dissenting opinion, suara mbalelo, tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dari 31 analis/ekonom yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 14 di antaranya memperkirakan BI Rate bisa turun 25 basis poin (bps) ke 5,25%. Artinya, ada sekitar 45% ekonom/analis di konsensus yang memperkirakan demikian. Bukan jumlah yang kecil.
Tim Mega Capital Sekuritas memperkirakan BI Rate bisa turun ke 5,25%. Menurut mereka, penurunan BI Rate tidak akan mempengaruhi minat investor terhadap aset-aset berbasis rupiah, terutama di pasar surat utang.
Kemarin, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun 1,7 bps menjadi 6,58%. Yield untuk tenor 5 tahun juga terpangkas 2,6 bps ke 6,19% dan yang 20 tahun berkurang 2,2 bps jadi 6,98%.
Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
“Rupiah masih akan suportif. Kami memprediksi BI Rate cut sebesar 25 bps menjadi 5.25%,” tulis riset Mega Capital.
- Dengan asistensi Muhammad Julian dan Ruisa Khoiriyah -
(aji)































