Ronald menerangkan biaya investasi smelter bauksit mencapai US$1,2 miliar untuk kapasitas pemrosesan 2 juta ton.
Investasi yang besar tersebut pada akhirnya menyebabkan kemajuan pembangunan smelter menjadi lambat, saat ini rata-rata berada di bawah 50%.
“Banyak sekarang yang punya nikel itu semua ingin bangun bauksit. Tapi ada beberapa yang berhenti karena mungkin komoditas nikelnya rugi. Jadi dia tidak lanjutkan,” kata Ronald.
Sekadar catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan Indonesia saat ini memiliki 14 proyek smelter mineral terintegrasi dengan total nilai investasi US$8,69 miliar (sekitar Rp144,02 triliun), yang didominasi sektor bauksit.
Smelter bauksit terintegrasi sebanyak 6 proyek yang berjalan dengan nilai investasi US$2,18 miliar.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno sebelumnya menyebut 7 smelter bauksit masih mangkrak, dengan progres pembangunan di bawah 60%.
Keenam fasilitas pemurnian terintegrasi itu antara lain: PT Dinamika Sejahtera Mandiri yang terletak di Sanggau, Kalimantan Barat; PT Laman Mining di Ketapang, Kalimantan Barat; dan PT Kalbar Bumi Perkasa yang berlokasi di Sanggau, Kalimantan Barat.
Kemudian, ada pula PT Parenggean Makmur Sejahtera di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah; PT Persada Pratama Cemerlang di Sanggau, Kalimantan Barat; PT Quality Sukses Sejahtera di Pontianak, Kalimantan Barat; serta PT Sumber Bumi Marau di Ketapang, Kalimantan Barat.
“Kalbar Bumi Perkasa yang izinnya dicabut,” ungkapnya dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (30/4/2025).
Isu pendanaan memang menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai dalam hilirisasi bauksit. Pengusaha menilai hingga kini sulit mendapatkan pendanaan eksternal untuk membiayai proyek smelter bauksit.
Perbankan ataupun investor kerap menilai bahwa proyek-proyek penghiliran bauksit kurang menguntungkan.
Mengapa Taipan China Lirik Aluminium Indonesia
Berdasarkan laporan Bloomberg News sebelumnya, sejumlah konglomerat China disebut tengah mengakselerasi industri aluminium Indonesia melalui proyek miliaran dolar AS, menyaingi ekspansi besar-besaran yang sebelumnya terjadi di sektor nikel 1 dekade lalu.
Menghadapi pembatasan produksi di dalam negeri, sejumlah perusahaan seperti Tsingshan Holding Group milik taipan Xiang Guangda, China Hongqiao Group Ltd., dan Shandong Nanshan Aluminum milik Song Jianbo mulai mengalihkan fokus ke ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Mereka menggelontorkan dana besar untuk pembangunan smelter dan pabrik pemurnian baru. Goldman Sachs Group Inc. memperkirakan kapasitas produksi aluminium Indonesia bisa melonjak hingga 5 kali lipat pada akhir dekade ini.
“Dalam 5 tahun ke depan, Indonesia akan menjadi pusat gravitasi industri aluminium global,” kata Alan Clark, direktur di konsultan logam CM Group.
“Menarik sekali membandingkan apa yang terjadi di sektor nikel global dengan yang kini berlangsung di aluminium.”
(mfd/naw)































