Ia mencontohkan kasus gagal bayar di Investree dan Akseleran yang sempat menghebohkan publik mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara ambisi pertumbuhan dan kemampuan pengendalian risiko operasional.
"Dalam kedua kasus tersebut, tantangan mencakup kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL), keterbatasan transparansi informasi peminjam, serta ketergantungan terhadap pendanaan institusional yang terkonsentrasi, yang semuanya berdampak pada tekanan likuiditas dan keterlambatan pembayaran kepada lender," imbuhnya.
Kemudian, keterlambatan pengakuan atas memburuknya portofolio menambah semakin tergerusnya kepercayaan investor. Tindakan itu, katanya, menunjukkan keterbatasan sejumlah platform fintech dalam menangani stres portofolio mereka.
Khususnya, menurut Gromy, bila dibandingkan dengan lembaga keuangan mapan yang memiliki struktur permodalan lebih kuat dan dilindungi oleh kerangka regulasi yang lebih ketat.
Peristiwa ini diperkirakan akan mempercepat pergeseran perilaku pasar, dari pola growth-at-all-costs [pertumbuhan-dengan-semua-biaya] menuju strategi yang menekankan keberlanjutan dan tata kelola yang baik.
Investor institusional dan penyedia dana diperkirakan akan semakin selektif dengan preferensi terhadap platform yang memiliki analisis risiko kredit dan sistem penagihan yang kuat, praktik pelaporan yang transparan, pengendalian internal yang solid, serta rekam jejak pertumbuhan yang bertanggung jawab.
Di sisi lain, regulator juga mulai memperketat pengawasan. Langkah ini penting untuk memastikan stabilitas jangka panjang dan memulihkan kepercayaan terhadap sektor fintech.
"Platform yang mampu menunjukkan keseimbangan tersebut lebih berpeluang untuk mempertahankan kepercayaan pasar dan dukungan investor secara berkelanjutan," pungkasnya.
(mef/ros)
































