Logo Bloomberg Technoz

Komaidi mengatakan sisi positif dari pelarangan ekspor LNG adalah perkembangan dan daya saing industri domestik, yang selama ini diteror isu pasok dan harga gas kendati pemerintah telah menggelontor kebijakan harga gas tertentu senilai US$6/MMBtu.

“Secara konsep demikian, karena gas ini peruntukannya tidak hanya untuk energi tetapi juga bahan baku. Misalnya untuk industri pupuk, petrokimia, dan lainnya. Harapannya, industri tersebut –berikut turunannya– bisa berkembang nanti dan daya saingnya meningkat.”

Akan tetapi, dia mengingatkan pemerintah tetap harus memikirkan bagaimana cara menambal kehilangan pendapatan negara dari devisa ekspor LNG yang selama ini diraup pemerintah.

“Ketika devisa berkurang, stabilitas dari nilai tukar rupiahnya bisa agak goyang. Nah, seberapa besar goyangnya? Itu yang harus dimitigasi oleh pemerintah. Ini yang harus dijaga karena kalau tidak, implikasinya ke pasar domestik juga besar. Sebab, kontribusi impor bahan baku penolong kita besar juga. Aspek itu yang perlu diseimbangkan pemerintah,” tutur Komaidi.

Pembelian LNG negara berkembang (Sumber: Bloomberg)

Masalah Infrastruktur Gas

Di sisi lain, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radi berpendapat pemerintah harus terlebih dahulu memperbaiki infrastruktur salur gas di dalam negeri sebelum benar-benar melarang ekspor LNG.  

Menurutnya, sumber gas alam di dalam negeri sebenarnya melimpah-ruah; seperti di Aceh, Bontang, dan sebagainya. Adapun, mayoritas pangsa pasar pengguna gas di Indonesia berada di Pulau Jawa. 

Permasalahannya, kata Fahmy, gas alam tidak dapat disalurkan melalui moda transportasi biasa –seperti kapal atau angkutan darat– tetapi harus menggunakan pipa. 

“Masalahnya, infrastruktur pipa di Indonesia itu sangat sedikit atau tidak memadai. Dahulu mau dibangun jaringan bawah laut, tetapi tidak bisa. Akibatnya, harga gas di dalam negeri mahal. Kalau pemerintah ingin [melarang ekspor agar] harganya bisa US$6/MMBtu, itu hampir tidak bisa terlaksana, karena transportasinya sulit. Maka harus diolah jadi LNG. Masalahnya, perusahaan atau pabrik yang mengolah LNG juga tidak banyak, sehingga akan kesulitan di situ juga,” jelasnya.

Akibat problem logistik tersebut, daerah-daerah penghasil gas di Indonesia selama ini lebih memilih untuk mengekspor ke negara-negara terdekat seperti Singapura. Padahal, kebutuhan di dalam negeri sangat tinggi.

“Sehingga kalau Luhut [Binsar Pandjaitan] mau larang ekspor LNG, lebih baik fokus dahulu untuk kebutuhan dalam negeri. Maka kalau kemudian eskpornya dilarang, [...] perlu diatur dalam pelaksanaan distribusi gas tadi. Apakah itu gas alam cairnya atau kemudian diolah dahulu menjadi LNG? Ini yang harus dipastikan terlebih dahulu,” tutur Fahmy.

Selain memperbaiki infrastruktur salur gas, dia menyarankan agar pemerintah membenahi akurasi data kebutuhan LNG di dalam negeri serta produksinya. “Selain itu harus ada pengawasan juga, karena larangan ekspor ini pasti akan menimbulkan ekspor ilegal.” 

Pipa-pipa kapal tanker liquefied natural gas (LNG) UMM BAB di Terminal LNG PGP Consortium Ltd. di Karachi, Pakistan. (Asim Hafeez/Bloomberg)


Pada perkembangan lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif angkat bicara terkait dengan rencana pelarangan LNG yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Rencana pelarangan ekspor LNG dilatarbelakangi oleh tingginya kebutuhan di dalam negeri. Selain itu, diharapkan dengan adanya pelarangan ekspor tersebut, harga gas bisa ditekan ke angka US$6 per MMBtu.

Arifin belum bisa memastikan bagaimana kelanjutan dari rencana pelarangan ekspor LNG. Namun yang jelas, pemerintah tetap akan memprioritaskan kepentingan nasional, termasuk memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri.

“Kalau kepentingan di dalam negeri kan memang harus didahulukan dan dinomorsatukan,” katanya ketika ditemui oleh awak media pada Rabu (31/5/2023) di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat.

Arifin menyebut sampai dengan saat ini, produksi LNG di Tanah Air masih surplus atau lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan di dalam negeri. Dengan demikian, pelarangan ekspor LNG kemungkinan belum akan terealisasi dalam waktu dekat.

"Masih banyakan produksinya dibandingin dengan demand-nya di dalam negeri," ujarnya.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi LNG ditargetkan mencapai sebesar 206 kargo, pada 2023. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan realisasi produksi LNG sepanjang 2022, sebesar 196 kargo.

Produksi tersebut berasal dari Kilang LNG Tangguh sebanyak 124-126 kargo dan Kilang LNG Bontang sebesar 80-81 kargo. Dari jumlah tersebut sebanyak 140,3 kargo akan diekspor.

Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menegaskan rencana untuk segera menerapkan larangan ekspor LNG. Terkait dengan rencana tersebut, dia mengeklaim telah melakukan kajian internal di kementeriannya, bersama dengan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi. 

Menurutnya, hasil kajian tersebut bakal segera dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Bertahun-tahun kita ekspor LNG, sekarang ternyata kita butuh. Sudah kita siapkan laporan ke Presiden, no export LNG. Sudah cukup lama, masa dimaling terus? Mau sampai kapan harus dimaling?" kata Luhut Luhut saat ditemui di Hotel Mulia, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2023).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara Mandiri Investment Forum. (Dimas Ardian/Bloomberg)

Selain rencana larangan ekspor gas cair, Luhut sedang menyiapkan sejumlah langkah demi melakukan efisiensi di sektor pertambangan gas. Dia menyebut ada potensi pengeluaran di beberapa titik yang masih bisa dipangkas.

"Atau mungkin kalau bisa kemudikan kita tekan lagi cost di mulut [tambang], di wells [sumur]-nya itu harus kita lihat berapa. Cost effectiveness, efisiensi is a bottom line dan itu yang harus kita bangun di negeri ini," ungkapnya.

Kendati demikian, Luhut menyebut kontrak ekspor LNG yang saat ini sudah ada dipastikan akan terus berjalan. "Kalau ekspor gas itu yang sudah kontrak kita hormati, tetapi yang baru kita nanti diputuskan kita akan membuat [larangan ekspor LNG], konsumsi kita kan tinggi juga," lanjut dia.

Dengan larangan ekspor itu, kata Luhut, nantinya Indonesia bisa memanfaatkan gas untuk pengolahan metanol hingga petrokimia.

Dia lantas menyinggung perihal megaproyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara). Menurutnya, proyek itu sekarang masih dalam proses konstruksi, dan diharapkan rampung pada 2025 atau 2026 untuk pabrik pengolahan petrokimia.

"Sekarang petrokimia kita masih impor banyak. Sekarang kita mau bikin di Kaltara [Kalimantan Utara], di mana, ya kita perlu gas. Kita cukup gas kita sendiri, dan kita tidak perlu impor lagi," tegasnya.

Menyitir data SKK Migas, realisasi salur gas pada kuartal I-2023 mencapai 5,39 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau naik dari 5.321 MMSCFD periode yang sama tahun lalu. 

Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi sebelumnya mengatakan SKK Migas terus menjaga komitmen pemanfaatan gas bagi kebutuhan domestik.

“Saat ini rata-rata sekitar 67% produksi gas bumi dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam rangka mendukung ketahanan energi dan pembangunan nasional dengan gas sebagai bahan baku industri,” kata Kurnia dalam laporan kuartalan SKK Migas, awal Mei.

Terkait dengan penyerapan gas di pasar domestik, Kurnia menyampaikan sektor pupuk dan kelistrikan masih perlu dioptimalkan karena serapannya masih rendah dari daily contract quantity (DCQ) yang telah disepakati.

(wdh)

No more pages