Logo Bloomberg Technoz

“Jika investor merasa sektor tertentu misalnya, baterai EV [electric vehicle] memiliki risiko intervensi pemerintah yang tinggi, mereka mungkin mengalihkan investasinya ke sektor lain di Indonesia yang dianggap lebih aman, atau bahkan ke negara lain,” kata Wahyu saat dihubungi, Rabu (2/7/2025). 

Grafik Lingkup Proyek Baterai CATL IBC (Bloomberg Technoz)

Dia menjelaskan kesepakatan porsi saham perlu dinegosiasikan sejak awal. Ketika pemerintah sudah menyepakati pada awal perjanjian, maka risiko bagi investor lebih kecil karena mereka sudah tahu aturan mainnya.

Namun, kata Wahyu, jika divestasi saham merupakan inisiatif pemerintah yang muncul setelah investasi berjalan, maka bisa menimbulkan ketidakpercayaan investor.

“Bisa jadi ini merupakan bagian dari kesepakatan awal [term of agreement] yang disetujui untuk menarik investasi CATL ke Indonesia, di mana pemerintah sudah menegaskan keinginan untuk memiliki kontrol yang signifikan,” ujarnya.

Wahyu berpandangan CATL mungkin melihat pentingnya menjaga hubungan baik dengan pemerintah Indonesia sebagai pemilik sumber nikel terbesar dunia, sehingga bersedia mengakomodasi keinginan pemerintah.

Cermati Risiko

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar juga mewanti-wanti pemerintah perlu mencermati risiko yang akan muncul di samping prospek proyek tersebut.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan perhitungan, studi kelayakan serta legal due diligence untuk antisipasi dan mitigasi risiko.

“Tidak masalah dari aspek risiko investasi bagi investor dan juga tidak akan menimbulkan kapok sepanjang dilakukan secara fair,  jelas diawal dan saling menguntungkan,” imbuhnya.

Bisman menyarankan pemerintah untuk mengambil alih saham tersebut secara bertahap, sembari menyiapkan modal yang kuat untuk proses akuisisi.

“Kalau mayoritas memang terlalu terburu-buru, karena itu membutuhkan investasi yang besar. Kita punya duit enggak? Harus diingat soal kapasitas dan kemampuan,” katanya.

Bisman menjelaskan setiap saham yang didapatkan oleh Pemerintah Indonesia, dipastikan akan terkonversi dengan nilai ribuan dolar Amerika Serikat (AS).

Untuk itu, pemerintah dinilai harus pandai mengukur kapasitas RI dalam berkontribusi atau menyiapkan modal untuk wacana akuisisi tersebut.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan konsorsium CATL tidak keberatan untuk memberikan sebagian porsi sahamnya ke pemerintah di lini hilir proyek ekosistem baterai terintegrasi tersebut.

“Saya sudah bicara dengan mereka [perwakilan CBL] untuk menaikkan kepemilikan saham negara lain, dan mereka pada prinsipnya tidak masalah,” ujar Bahlil dalam peresmian Proyek Dragon di Karawang, Jawa Barat, Minggu (29/6/2025).

Senada, COO Danantara Indonesia Dony Oskaria menyebut diskusi divestasi saham CATL di Proyek Dragon masih berlangsung, dengan harapan porsi saham Indonesia bisa meningkat dalam beberapa waktu ke depan.

“Mengenai kepemilikan [saham], kita sedang berdiskusi dengan CATL [mengenai] possibility, kemungkinan untuk kita menambah porsi kita. Jadi masih tahap diskusi dengan CATL," katanya saat ditemui dalam agenda yang sama.

"Kemungkinan kita menambah porsi kepemilikan kita di joint venture [JV] baterai ini. Saat ini kita punya 30% [di lini hilir], kita harap ke depannya hasil negosiasi kedua belah pihak harus memiliki satu kesepahaman,” kata Dony.

JV yang dimaksud berada di bawah pengelolaan PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL), hasil kolaborasi antara Indonesia Battery Corporation (IBC), PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam, dan CATL beserta afiliasinya.

Struktur kepemilikan di JV  baterai tersebut saat ini menempatkan mitra asing sebagai pemegang 70% saham, sedangkan sisa 30% dikendalikan konsorsium BUMN yang terdiri dari Inalum, Antam, PLN,  dan Pertamina (PPI) melalui IBC.

Untuk diketahui, IBC dimiliki oleh empat BUMN, yakni Antam, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), PT PLN (Persero), dan PT Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), masing-masing dengan porsi kepemilikan sekitar 26%—27%, kecuali PLN yang memiliki 19,9%.

IBC menggandeng konsorsium CATL–CBL dalam serangkaian usaha patungan yang mencakup seluruh rantai pasok baterai kendaraan listrik, dari hulu hingga hilir.

Di sisi hulu, kolaborasi mencakup pengelolaan tambang nikel melalui PT Sumber Daya Arindo (SDA), di mana Antam menguasai 51% saham, serta proyek pengolahan RKEF dan kawasan industri lewat PT Feni Haltim dengan kepemilikan 40%.

Untuk fasilitas HPAL, Antam juga memegang 30% saham. Sementara itu, pada tahap antara hingga hilir—termasuk pengolahan bahan baku, produksi sel baterai, hingga fasilitas daur ulang — IBC cenderung berada di posisi minoritas.

Perseroan memegang 30% saham untuk proyek perakitan dan bahan baku baterai, serta 40% pada proyek daur ulang.

(mfd/wdh)

No more pages