Bloomberg Technoz, Jakarta – Pakar industri migas menyarankan pemerintah perlu membangun infrastruktur gas yang terintegrasi dengan harga kompetitif. Jika pihak swasta tidak ada yang berminat, pemerintah dapat menunjuk perusahaan pelat merah untuk berkolaborasi dengan Danantara.
Hal ini merespons sikap Kementerian Perindustrian dan kalangan industri yang menuding PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN kerap tidak menyalurkan gas murah melalui program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai instruksi Presiden serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC) Hadi Ismoyo mengungkapkan Indonesia sejatinya memiliki sumber gas yang cukup banyak yakni 150 triliun kaki kubik (TCF) atau jauh di atas volume sumber minyak.
Sebagian besar sumber gas tersebut berada di Indonesia bagian timur, seperti; Kalimantan Timur, Ladang gas Tangguh Papua Barat, Blok Kasuri Papua, dan Blok Masela.

Sayangnya, kata dia, pemerintah terlambat membangun infrastruktur gas yang terintegrasi.
Gas Kompetitif
Harga gas di dalam negeri, padahal, bisa menjadi kompetitif jika infrastruktur gas terbangun; baik conventional pipeline maupun virtual pipeline termasuk di dalamnya pipa transmisi, pipa distribusi, terminal regas, stasiun induk, truk gas alam cair aatau liquefied natural gas (LNG), dan truk gas alam terkompresi atau compressed natural gas (CNG).
“Jadi tidak ada istilah 'gas murah', kita harus membiasakan dengan tagline 'gas kompetitif'. Gas yang murah, semurah-murahnya akan menekan industri hulu, sehingga mereka akan tidak bersemangat melakukan eksplorasi. Jangka menengah dan panjang kita tidak akan tersedia gas dalam jumlah cukup,” kata Hadi saat dihubungi, dikutip Senin (1/7/2025).
Hadi menjelaskan pemerintah lah yang harus mengamankan agenda ketahanan energi nasional dan wajib mendorong pembangunan gas kompetitif dengan membuat kebijakan yang menarik, sehingga pihak swasta bisa tertarik untuk ikut membangun infrastruktur gas di Tanah Air.
Akan tetapi, jika tidak ada pihak swasta yang berminat, pemerintah bisa menunjuk BUMN seperti PGN dan Pertagas untuk membangun infrastruktur tersebut dengan berkolaborasi bersama Danantara.
“Hitungan saya tidak lebih dari Rp5 miliar, infrastruktur gas di Pulau Jawa yang 70% pusat industri bisa terbangun. Danantara punya Rp950 miliar bukan?" ucap Hadi.
Hadi memerinci gas yang ada di Indonesia bagian timur dalam wujud LNG bisa di kirim ke Jawa. Melalui terminal regas dan infrastruktur gas yang akan di bangun dan dikirim ke kawasan industri di Pulau Jawa yang terkoneksi baik konvensional maupun virtual.
Dengan jaringan gas yang masif dan terintegrasi, maka harga gas dan toll fee dengan sendirinya bisa menjadi kompetitif. Dia menggarisbawahi agar industri jangan terlalu berharap meminta harga gas rendah terus-menerus karena harga gas harus seimbang di tingkat hulu dan hilir.
Dengan suntikan dana dari Danantara, biaya akan rendah dan pengembalian modal menjadi terukur. Kemudian toll fee dan harga gas dibuat progresif terhadap volume.
“Jika volume gas distribusi besar dan kontrak jangka panjang, maka harganya akan lebih kompetitif. Sehingga pelan pelan akan menunju harga kesetimbangan harga yang kompetitif, yang win-win bagi semua pihak,” jelasnya.
Tambah Cadangan
Selain membangun infrastruktur, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau Pertamina dinilai harus gencar melakukan eksplorasi untuk mendapat tambahan cadangan gas.
“Saat ini Team 9 Kementerian ESDM bidang eksplorasi sudah memberikan rekomendasi 6 basin yang potensial penemuan raksasa. Antara lain Jatim, Kaltim dan Papua. Jika benar benar discovery, maka cadangan gas kita akan melimpah, dan harga gas bisa lebih rendah daripada jika resources gas terbatas. Harga tentunya lebih mahal,” ucap Hadi.

Di sisi lain, dia juga turut berkomentar ihwal Kementerian Perindustrian yang membuka peluang untuk impor gas. Menurut Hadi, langkah tersebut semestinya menjadi jalan terakhir jika LNG domestik telah terserap, karena dipastikan harga gas impor akan lebih mahal.
Industri hilir seperti PLN dan petrokimia, industri menengah, hingga industri kecil penerima HGBT harus mulai bersiap diri, untuk berpikir yang strategis di antara dua opsi yakni gas murah tapi tersedia terbatas atau sulit mendapatkan pasokan yang berkesinambungan atau gas kompetitif yang harganya kemungkinan akan mahal tetapi tersedia melimpah.
Dengan kata lain, kata dia, industri harus menata ulang neraca energinya agar lebih efisien. Pemerintah pun disarankan membuat kebijakan audit energi. Industri yang efisien menggunakan gas akan mendapat insentif harga gas.
“Bukankah harga gas bisa murah dengan memotong bagian pemerintah? Selama ini sudah dilakukan dalam mekanisme HGBT. Akan tetapi, tidak seorang pun bisa menunjukkan angka angka pasti dan langsung, apakah benar sudah menciptakan multiplier effect yang didengung-dengungkan?" terangnya.
“Dalam Forum Gas di Bandung 2024. Jelas sekali industri kecil yang menikmati HGBT juga tidak senang amat karena pasokan seret. Mending harga komersial, tetapi pasokan melimpah.”
Hadi berpandangan bahwa seluruh pemangku kepentingan migas dari lini hulu hingga hilir harus memiliki kesadaran bahwa masing-masing memiliki peran dan tumbuh bersama serta saling menghormati untuk mendapatkan keuntungan yang adil bagi semua pihak.
“Tidak diperkenankan satu sama lain saling menjatuhkan sehingga iklim investasi menjadi terganggu. Konsep ini harus dipahami bersama. Masing-masing mempunyai peran saling menguatkan. Diperbolehkan memperoleh margin, tetapi yang wajar dan tidak mematikan pihak lain,” imbuhnya.
Keluhan Industri
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan menyebut harga gas yang dijual oleh PGN kerap lebih mahal dari harga yang dipatok dalam Keputusan Menteri ESDM soal penyaluran HGBT.
“Ya, PGAS tidak mematuhi Perpres HGBT dan Kepmen HGBT US$7/MMBtu. Kami sangat keberatan karena harga tinggi menggerogoti daya saing manufaktur,” kata Yustinus saat dihubungi.
Yustinus menuturkan perusahaan penerima manfaat membayar harga gas sesuai ketentuan atau US$7/MMBtu (million british thermal unit) hanya untuk sekitar 70% realisasi volume. Sementara sisanya membayar harga regasifikasi sebesar US$16,88/MMBtu.
“Ini bukan harga normal. Ini harga abnormal untuk industri,” ujar Yustinus.
Dia menjelaskan pelanggan tidak memiliki pilihan apapun karena tidak ada alternatif pasokan gas bumi melalui pipa selain pipa PGN.
Di sisi lain, pelanggan nyaris tidak memiliki alternatif energi karena semua peralatan sudah diganti dengan penggunaan gas. Apalagi bila gas bumi sebagai bahan baku, maka pelaku industri terpaksa harus membayar harga yang ditetapkan oleh PGN.
“Tanpa pilihan, gas harus dibeli ke PGN. Take it or leave it [ambil atau tinggalkan] berapapun harganya,” imbuh dia.
Lebih jauh, Yustinus menyebut industri manufaktur dapat deindustrialisasi dini, bahkan berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan demikian, kata dia, target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 8% semakin jauh tercapai.
Dalam kaitan itu, Yustinus meminta PGN dapat mengimplementasikan Kepmen ESDM No. 76/2025 tentang HGBT dapat merealisasikan volume sebesar 100% tanpa alasan apapun.
“Karena Menteri ESDM sudah tetapkan volume dan harga, [mulai] dari sumber gas, oleh penyalur gas, PGN, sampai perusahaan pengguna,” ucapnya.
Dalam Kepmen tersebut, HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7/MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5/MMBtu.
Sebagai perbandingan, PGN menetapkan harga gas regasifikasi per kuartal I-2025 yakni pada periode Januari hingga Maret 2025 sebesar US$16,77/MMBtu.

Adapun, Direktur Utama PGN Arief S Handoko mengatakan pada saat Kepmen Nomor 76 dan 77 Tahun 2025 ditetapkan oleh Menteri ESDM, PGN langsung menerapkan harga gas bumi tertentu kepada pelanggan sambil menyelesaikan dokumen yang diperlukan dengan pemasok gas bumi hulu.
Akan tetapi, realisasi pasokan sangat tergantung dengan ketersediaan pasokan gas dari hulu dan kondisi operasional. PGN mengikuti kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan pemanfaatan gas bagi konsumen HGBT.
“Pada saat terdapat pasokan gas pipa yang mencukupi, maka PGN pun akan menyesuaikan pasokan kepada pelanggan sehingga pelanggan tetap mendapatkan pasokan dengan harga yang affordable selain pasokan yang berasal dari LNG,” ujar Arief saat dimintai konfirmasi.
Terkait dengan menurunnya pasokan gas pipa yang ada apabila tidak terdapat peningkatan kondisi operasional untuk pasokan diatas volume HGBT, PGN akan menyesuaikan secara berkala karena menggunakan harga LNG yang mengikuti pergerakan harga minyak bumi dunia.
“Kami berterima kasih kepada pemerintah untuk upaya menurunkan harga LNG hulu yang juga mempertimbangkan keterjangkauan dari pelanggan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan dan juga industri,” jelasnya.
Bagaimanapun Arief menekankan pelaksanaan HGBT sesuai Kepmen ESDM tahun 2025. PGN mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ESDM.
“Sehingga kurang tepat apabila dinyatakan PGN tidak mematuhi presiden,” kata Arief.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenperin Febri Antoni Arief mengungkapkan PGN kerap menjual harga gas di atas dari ketentuan HGBT untuk bahan baku yang dipatok senilai US$6,5/MMbtu.
"Harga gas [untuk bahan baku] industri itu sudah ada regulasinya, tetapi praktiknya seringkali harga gas yang sampai kepada industri itu, ada yang yang membeli harga gas di atas US$6,5/MMbtu," ujar Febri pekan lalu.
Febri pun lantas kembali mempertanyakan alasan kenapa PGN tidak bisa menyuplai harga gas khusus industri bahan baku sesuai dengan keputusan Menteri ESDM tersebut.
Hal ini kata dia, juga kerap dikeluhkan oleh kalangan industri lantaran kebijakan HGBT yang diterapkan oleh pemerintah masih belum maksimal, berikut dengan ketidaksesuaian harga perusahaan gas negara sebagai penyalur.
"Sebaiknya kawan-kawan tanya kepada BUMN produsen gas, kenapa kok mereka tidak bisa menyuplai gas untuk industri sesuai dengan putusan Presiden," tutur dia.

Merespons hal itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita justru mengatakan Indonesia membuka peluang untuk melakukan impor gas industri akibat mahalnya harga gas di dalam negeri.
Meski demikian, Agus menggarisbawahi rencana tersebut tak serta-merta langsung dilakukan begitu saja, tetapi harus mempertimbangkan suplai gas nasional, termasuk memenuhi sejumlah persyaratan teknis yang regulasi yang berlaku.
"Apabila suplai gas nasional dianggap tidak mencukupi, baik kualitas dan harga tidak sesuai dengan regulasi, maka seharusnya HKI [Himpunan Kawasan Industri Indonesia] bisa diberikan fleksibilitas untuk mendapatkan gas dari sumber-sumber lain termasuk dari luar negeri,” ujarnya medio lalu.
Agus juga mengatakan jika rencana tersebut harus terlebih dahulu dikoordinasikan bersama kementerian dan lembaga (K/L) lain, sekaligus mengamini polemik harga gas industri masih menjadi masalah yang berlarut-larut.
Langkah tersebut, kata dia, juga dilakukan sebagai solusi dalam memenuhi kebutuhan energi sektor industri yang terus meningkat dan pasokan gas nasional terbatas.
(mfd/wdh)