Dalam memitigasi dampak risiko yang ditimbulkan dari gejolak global, kata Fithra, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan APBD Tahun Anggaran 2025. Menurut dia, Inpres tersebut menjadi salah satu titik fokus.
Menurut dia, pemerintah mencoba untuk menyesuaikan keperluan sesuai dengan kaidah Undang-Undang Keuangan Negara 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur pengelolaan keuangan negara secara tertib.
"You have the money, you need to have the function (Kamu punya uang, kamu perlu memiliki fungsi). Makanya akhirnya di-realokasikan ke tempat yang lain. Sehingga pada akhirnya kita memiliki candangan fiskal yang bisa sewaktu-waktu di-alokasikan sebagai peredam gejolak, untuk hal-hal yang tidak bisa kita hindarkan seperti ini," sebut dia.
Fithra menekankan bahwa kebijakan lima paket stimulus yang diterbitkan pemerintah untuk kuartal II tahun 2025 yang mencapai Rp24,4 triliun menjadi bagian dari mitigasi terhadap tarif kelam.
"Ini adalah bentuk kesiapan pemerintah untuk menanggapi atau melihat kemungkinan terburuk," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun sudah mengingatkan ada peningkatan risiko global yang membutuhkan kewaspadaan dan upaya mitigasi lebih besar dari pengelola negara. Katanya, global environment masih sangat tidak pasti meskipun ada pola yang berulang mengenai tensi politik global, eskalasi antara blok Amerika Eropa dengan Blok China, Rusia.
Lanskap global itu mempengaruhi perekonomian domestik tak terkecuali dalam penyusunan desain APBN sehingga anggaran negara bisa bertindak sebagai shock absorber, kata Sri Mulyani.
Terjadinya perang dagang, juga kenaikan instrumen tarif serta nontarif, telah menciptakan kerentanan rantai pasok global. Di sisi lain dunia juga menghadapi kerentanan dari perubahan iklim yang bisa memicu krisis pangan, krisis energi. Belum lagi ditambah rezim bunga tinggi terutama di negara-negara maju.
"Kombinasi global disruption supply chain, lalu inflasi tinggi dan bunga tinggi, menggerus daya beli sehingga ekonomi dunia melemah di 3,1%. Bila dibandingkan dekade sebelumnya di atas 4%, sekarang hanya di 3,1%. Situasi ketidakpastian itu memicu volatilitas pasar keuangan, yield naik seperti yang terjadi di Jepang beberapa waktu lalu," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN 2025.
(lav)
































