Founder Stocknow.id Hendra Wardana sebelumnya mengatakan emiten kecil yang hendak IPO saat ini memiliki potensi membuat investor ritel 'nyangkut.'
"Dalam banyak kasus, saham-saham dari emiten kecil cenderung aktif hanya dalam jangka pendek pasca-pencatatan dan kemudian mengalami stagnasi karena kurangnya sentimen lanjutan dan minimnya perhatian investor besar," paparnya.
Di sisi lain, BEI saat ini mengupayakan beberapa kebijakan untuk menaikkan tingkat likuiditas. Misalnya penyesuaian jam perdagangan, liquidity provider hingga penyesuaian satuan perdagangan.
Hendra menyebut, dalam konteks upaya BEI mendorong inklusi pasar modal dan memperluas akses pendanaan bagi pelaku usaha, maka IPO emiten kecil menjadi relevan. Namun, kurang relevan jika IPO kecil memiliki konteks sebagai upaya BEI untuk meningkatkan likuiditas pasar.
"Kehadiran emiten kecil memang menambah lebar pasar (breadth), tetapi belum tentu menambah kedalaman (depth), yang lebih ditentukan oleh kapitalisasi besar, volume transaksi yang berkelanjutan, dan partisipasi investor institusi," jelas Hendra.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy memiliki pandangan senada. BEI seharusnya tidak mengejar kuantitas, melainkan kualitas.
Dia menambahkan, jangankan UKM, emiten yang IPO kemudian memiliki market cap ratusan miliar hingga Rp1 triliun pun masih tidak menarik di mata investor institusi, terlebih asing.
(art/ros)






























